2013

Alhamdulilah buku Aqidah Akhlak ini dapat di selesaikan dalam waktu yang cukup singkat. Dalam buku ini menjelaskan tentang Aqidah sebagai fondasi keyakinan umat Islam. Sebagai umat Islam dalam berpedoman yang berkaitan dengan keimanan berlandasan kepada Al-Qur’an dan Al-Hadits yang shahih, bukan landasan dari pendapat orang perorangan. Adapun sebagai pokok bahasan seperti dalam buku ini seperti pendapat kalangan Ahlu Sunnah, yang menyatakan kelompok keimanan yang tertera pada percakapan Malaikat Jibril dengan Nabi Muhammad s.a.w. ketika berada di Masjid. Ia menyamar sebagai seorang laki laki yang berpakaian serba putih dan bertanya apa itu iman? Nabi menjawab : Yakin akan Allah itu ada, berkeyakinan bahwa Malaikat itu ada, percaya kitab-kitab yang telah di turunkan oleh Allah, percaya terhadap para rasul, adanya hari Qiyamat dan Qadha dan Qadar Allah.Terkenal dalam sunni sebagai rukun iman. Sedangkan akhlak yaitu perilaku manusia terhadap Allah, terhadap Nabi dan shahabatnya, terhadap diri sendiri, terhadap keluarga hingga bangsa dan bernegara. Penulis berharap mudah-mudahan bermanfaat bagi penulis sendiri dan para pembaca pada umumnya. Tulisan ini jauh dari sempurna, oleh karena itu, penulis berharap kiranya apabila ada kekeliruan dapat disampaikan kepada saya. Kritik yang membangun sangat saya harapkan.

Cross
Internet pada masa ini sudah menjadi sesuatu yang biasa. Setiap orang, sekolah dan perkantoran sudah menggunakan internet untuk menunjang dan mempermudah dalam pekerjaan mereka. Tetapi sekarang saya tidak membahas tentang internet, tetapi membahas bagaimana menggungakan 1 internet dengan banyak komputer. Diperlukan router atau hub untuk mengkoneksikan beberapa komputer itu.

Saya pernah mengalami kendala di kantor saat menginstalasi komputer baru ke network yang ada. Pertama saya membeli kabel LAN straight karena saya sempat membaca sebuah artikel (lupa situsnya..hehee..) ditulis jika menggunakan hub dan diperlukan kabel straight. Setelah pasang kabel ternyata koneksinya error dengan tulisan "Limited or no Connectivity". Nah looo.... Mulai dah gejala-gejala bikin parno kambuh.. Akhirnya saya coba di komputer lain disebelahnya, ternyata koneksi berhasil. Tapi kenapa dikomputer baru ga bisa ya??? Trus browsing lagi, ketemu situs lain yang menyarankan menentukan IPaddress statis dab DNS Server-nya. Langsung aja coba.. Koneksinya berhasil, tetapi gak bisa akses internet.. (x,x) Berfikir dalam hati "Gue harus gimana nih???"

Nah jika ada sobat yang mengalami hal seperti saya, ikuti saja langkah-langkah yang saya lakukan ya...

PERTAMA :
Buka Local Area Connection Status di pojok kanan bawah (icon komputer kembar) kemudian klik Properties, trus pada tampilan Local Area Properties klik Configure silahkan cari pilihah Speed and Duplex (setiap tipe LAN pada komputer memiliki menu yang berbeda, tetapi pasti ada settingan Speed and Duplex) set valuenya menjadi 10 Mbps Full Duplex. Setelah itu klik OK. Koneksi LAN anda akan me-restart secara otomatis.

Jika masih terjadi error pada Koneksi LAN anda berarti tipe kabel LAN yang anda gunakan tidak cocok. Sebelumnya saya menggunakan kabel LAN tipe Straight kemudian saya ubah pemasangan nya dengan LAN tipe Cross (Crossover). Jika anda sebelum nya menggunakan kabel LAN tipe Cross, coba ganti pakai Straight saja. Karena keadaan mesin kita tidak ada yang bisa memastikan (buktinya komputer sebelah mau, dan komputer baru ga mau, padahal settingan semua sudah disamakan)

KEDUA
Cara membuat kabel LAN tipe Straight sangat mudah, tapi sebagai referensi sobat-sobat semua, saya jelaskan dengan gambar saja ya.. Ikuti saja warna kabel2 berikut.

Berikut alat alat yang diperlukan untuk pemasangan kabel LAN
1. Kabel LAN UTP isi 8
    Kabel UTP untuk LAN
Untuk harga kabel UTP isi 8 saya membeli seharga Rp. 5.000/meter. Jika membeli yang murahan seharga Rp. 3.000/meter bisa berdampak pada koneksi terputus-putus. Jika menggunakan kabel yang berjarak panjang, usahakan menggunakan kualitas yang bagus, seharga kurang lebih Rp. 5.000/meter.

2. Jack RJ45 Connector
     Jack RJ45 untuk LAN Head
Harga untuk 1 buah RJ45 saya membeli Rp. 2.500, ada beberapa jenis dan kualitas untuk RJ45, tetapi tetap usahakan beli yang kualitas yang baik agar penyambungan kabel tidak mengalami kendala atau masalah.

3. Crimping (Tang penjepit)
    Crimping untuk penjepit kabel LAN pada Head
Harga tang Crimping berkisar Rp. 35.000 sampai Rp. 50.000 an. Ada berbagai bentuk yang bisa anda pilih dan fungsinya sama saja.

Berikut adalah cara pemasangan LAN tipe Straight

Ujung kabel pertama       Ujung kabel kedua
  Kabel Straight untuk LAN           Kabel Straight untuk LAN
Warna kabel untuk LAN straight sama antara ujung satu dan ujung lainnya.


Kemudian untuk kabel LAN tipe Cross

Kabel Cross untuk LAN

Untuk mempermudah sobat jika sudah terlanjur pasang ujung pertama dengan warna berbeda, lakukan hal berikut pada ujung kedua, berikut perubahan nya. Pin 1 ditukar dengan Pin 3 (jadi Pin 1 dimasukkan ke Pin 3 dan Pin 3 dimasukkan ke Pin 1) dan yang selanjutnya tukarkan pin yang 2 dengan pin 6 (kabel yang seharusnya dimasukkan ke pin 2, masukkan ke pin 6 demikian sebaliknya)

Kesimpulannya

PIN           Unjung 1                         Ujung 2
1               1.putih orange               3.putih hijau
2               2.orange                         6.hijau
3               3.putih hijau                   1.putih orange
4               4.biru                               4.biru
5               5.putih biru                     5.putih biru
6               6.hijau                             2.orange
7               7.putih cokelat               7.putih cokelat
8               8.cokelat                         8.cokelat

Setelah selesai, silahkan coba pasang pada komputer anda, kalau masih ada masalah error pada koneksi sobat, bisa di share melalui komentar dibawah ini, saya akan berusaha memberi solusi yang terbaik..

Fried memaparkan bahwa PAM Jaya telah menerima pinjaman sebesar $92 juta dari Bank Dunia tapi Locussol tidak menyebut satu pun konsekuensi finansial dan legal yang mengiringi privatisasi itu. “Kalau mengingat upaya-upaya Bank Dunia untuk memerangi korupsi di Indonesia, mengapa tak ada analisis yang detail tentang implikasi dari pengambilalihan sistem pasokan air bersih di Jakarta ini dalam Implementation Completion Report –selain pernyataan bahwa swastanisasi ini difasilitasi oleh proyek Bank Dunia dan lebih lanjut akan merupakan pengembangan dari upaya penyediaan air bersih?”

Dari beberapa orang yang terlibat perundingan dengan pihak swasta, saya mengetahui bahwa mereka rata-rata setuju dengan analisis Nila Ardhianie dan Stephanie Fried. Mereka mengatakan saat perundingan berlangsung, pihak swasta pernah minta, baik pada Sigit Harjojudanto atau Anthony Salim, untuk campur tangan apabila ada butir-butir perundingan yang terhambat. Masalah manajemen rekening escrow, misalnya, secara teoritis dimiliki bersama oleh konsorsium dan PAM Jaya, tapi rekening ini justru dibuat agar sepenuhnya ada di bawah kendali konsorsium swasta.

Achmad Lanti mengatakan Gubernur Surjadi bahkan mengancam undur diri jika perusahaan-perusahaan internasional itu bersikeras memungut imbalan air dari PAM Jaya dalam mata uang dollar Amerika, bukannya rupiah. Pihak konsorsium swasta khawatir terhadap ancaman ini dan belakangan sepakat menggunakan rupiah.

Namun Surjadi ternyata setuju pencantuman klausul yang menyebutkan bahwa bila terjadi kekurangan antara jumlah yang dibayar pelanggan (water tariff) dan yang dikeluarkan konsorsium swasta (water charge), dan DPRD masih membutuhkan waktu untuk membahas kenaikan tarif air yang baru, maka tarif tersebut dapat naik secara otomatis.

Nila Andrianie memperkirakan privatisasi tersebut akan menimbulkan banyak masalah, mulai dari isu-isu tenaga kerja sampai kepemilikan, “Saya kuatir ketika masa konsesi ini berakhir, PAM Jaya tidak akan punya aset lagi karena semua aset mereka akan habis untuk dipakai membayar utang.”


DESA Kemusuk mungkin tergolong desa kecil di Pulau Jawa yang tak mempunyai masalah tentang air bersih serumit dan semahal metropolitan macam Jakarta. Tapi di desa inilah, pada Juni 1921, lahir bayi laki-laki, yang kelak akan menentukan masalah air bersih di kota Jakarta.

Suharto kecil dibesarkan dalam keluarga petani. Riwayat awal hidupnya biasa-biasa saja. Pada awal 1940-an ia bergabung dengan sebuah organisasi milisi sokongan Jepang. Namun Jepang kalah dalam Perang Dunia II dan Suharto jadi gerilyawan melawan tentara kolonial Belanda, yang hendak merebut kembali Hindia Belanda. Pada 1949 para pejuang kemerdekaan ini mendapatkan pengakuan dunia internasional sebagai negara merdeka. Mereka mengumumkan berdirinya Republik Indonesia di bawah kepemimpinan Sukarno.

Namun Sukarno bukanlah seorang manajer yang efisien. Sukarno juga cenderung memberi angin pada gerakan kiri. Pada tahun 1965, di puncak Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet, Mayor Jenderal Suharto merebut kekuasaan dari tangan Sukarno. Rezim militer Suharto membantai lebih dari 500.000 pendukung Sukarno. Suharto memusatkan kekuasaan di tangannya. Ia mengundang Bank Dunia untuk membantu pembangunan Indonesia dan membuka pasar Indonesia serta sumber daya alamnya ke tangan perusahaan-perusahaan internasional.

Pada 1970-an Suharto menunjuk kroni-kroninya, kebanyakan pengusaha Indonesia keturunan Tionghoa seperti Sudono Salim, pendiri Salim Group, ayah Anthony Salim, untuk merintis pembangunan ekonomi Indonesia. Bisnis mereka meroket seiring dengan eksploitasi cadangan minyak bumi Indonesia. Ekonomi Indonesia tumbuh sekitar tujuh sampai delapan persen per tahun. Di akhir 1980-an, saat keenam anaknya dewasa, Suharto mulai meletakkan sederet bisnis besar Indonesia ke tangan anak-anaknya, termasuk Sigit.

Pada zaman Suharto, perusahaan-perusahaan internasional biasanya mengalami kesulitan menanam modal dalam jumlah besar bila belum membangun kemitraan dengan kroni-kroni Suharto. Rekanan macam itu dibutuhkan untuk mengatasi hambatan birokrasi. Keluarga Suharto sendiri jadi rekanan diam. Mereka semata-mata meminjamkan pengaruh.

Suharto menjalankan pemerintahan dengan efisien. Mereka yang ada di pihak oposisi ditekan. Pers dikontrol lewat berbagai macam perizinan. Serikat buruh dan petani dikendalikan negara. Militer dan organisasi politik disatukan di bawah Suharto. Tak seorang pun mampu menantang Suharto selama nyaris tiga dekade. Sejumlah akademisi Barat menyebut Suharto memimpin Indonesia layaknya seorang sultan Jawa. Ia pendiam, sulit ditebak, dan ahli dalam menjalankan politik dan intrik.

Tak ada benteng yang selamanya kokoh, begitu pula pemerintah Suharto. Pada Juli 1997, atau sebulan setelah Thames Water dan Lyonnainse des Eaux menandatangani kontrak air, spekulan valuta asing menghajar bath Thailand kemudian rupiah. Krisis di Asia mulai bergulir dan krisis politik merebak di Indonesia. Huru-hara pecah di berbagai daerah seiring naiknya harga beras, minyak goreng, gula, susu dan sebagainya. Beberapa bulan kemudian, Suharto mengundang International Monetary Fund (IMF) untuk membantu pemerintahannya.

Tetapi anak-anak dan sanak saudaranya menampik sederetan rekomendasi IMF, termasuk di antaranya menutup bank-bank milik mereka yang tak sehat. Langkah ini justru memperkeruh krisis. Bambang Trihatmodjo, adik kandung Sigit, menyilahkan Bank Andromeda miliknya ditutup tapi ia segera mendirikan Bank Alfa. Probosutedjo, adik tiri Suharto, yang banknya juga ditutup, bersama-sama Bambang menggugat pemerintah ke pengadilan.

Pada Oktober 1997, Suharto menunjuk Sutiyoso, mantan komandan militer Jakarta, untuk menggantikan Gubernur Surjadi Soerdirdja. Langkah ini mencipta suasana baru dalam lingkaran urusan air. Berbeda dengan Surjadi yang hati-hati, Sutiyoso yang kurang berpengalaman, bersedia mengawal kepentingan keluarga Suharto tanpa ragu. Tak lama kemudian, Menteri Dalam Negeri Yogie S.M. meresmikan kontrak tersebut sehingga langkah pengambilalihan PAM Jaya tinggal soal waktu.

Pada 1 Februari 1998, di tengah menajamnya tekanan politik dalam negeri dan krisis ekonomi, kontrak air ini pun praktis dimulai. Dini hari itu, belasan eksekutif PT Kekar Thames Airindo, baik ekspatriat maupun lokal, mendatangi kantor-kantor PAM Jaya dan instalasi air di sebelah timur Jakarta yang ada dalam kontrol mereka.

“Saya senang sekali. John Hurcom berkeliling hingga pagi,” kata Rhamses Simanjuntak, seorang eksekutif PT Kekar Thames Airindo, mengacu pada atasannya yang asal Inggris.

Sementara itu krisis ekonomi makin lama makin parah. Suharto mencoba segala cara untuk mempertahankan diri. Menantunya yang temperamental, Letnan Jenderal Prabowo Subianto, memerintahkan anak buahnya untuk menculik, menyiksa, dan diduga juga membunuh sejumlah aktivis. Anak-anak Suharto menggenjot kampanye lewat media dengan “Aku Cinta Rupiah.” Di awal Mei 1998, empat mahasiswa Jakarta ditembak mati dalam sebuah demonstrasi di Jakarta. Peristiwa tersebut memicu gelombang anti Suharto di seluruh negeri.

Para mahasiswa pun mulai menduduki gedung parlemen. Sejumlah politisi menunjukkan sikap menentang Suharto. Para jurnalis pun menentukan sikap. Beberapa petinggi di sejumlah stasiun televisi, yang dimiliki keluarga Suharto, mengabaikan instruksi para pemilik mereka. Televisi ikut mengobarkan semangat melawan Suharto. Karyawan PAM Jaya ikut serta dalam gelombang protes tersebut. Parlemen minta Suharto untuk mundur. Suharto terpojok.

Akhirnya, Kamis 21 Mei 1998 di Istana Merdeka di jantung kota Jakarta, Suharto membaca sebuah pernyataan pendek di depan kamera televisi. Ia menyatakan bahwa dirinya mengalihkan kekuasaannya ke Wakil Presiden B.J. Habibie. Dengan suara bersalut duka, pemimpin yang kini pucat pasi menyatakan diri mundur saat itu juga.

Banyak orang Indonesia terkesima menyaksikan pidato Suharto. Bocah Kemusuk yang saat itu berusia 77 tahun, telah berkuasa atas negara berpenduduk nomor empat terbesar di dunia selama 33 tahun. B.J. Habibie, insinyur pesawat terbang didikan Jerman, secepatnya diambil sumpah dan Suharto diam-diam undur diri ke dalam limusin bersama Siti Hardiyanti Rukmana, putri sulungnya, meninggalkan istana.

Di luar euforia mulai meledak. Ribuan mahasiswa, yang tengah menduduki gedung parlemen, mencucurkan air mata gembira. Ada yang menceburkan diri ke dalam kolam air mancur, merayakan kemenangan mereka. Peristiwa ini kemudian bergema ke seluruh negeri kepulauan ini.

Di kantor pusat PAM Jaya, para manajernya ikut senang tapi juga cemas. Kebakaran melalap sejumlah gedung di Jakarta. Ribuan pusat perbelanjaan, rumah, dan bangunan kantor, terutama yang dimiliki warga Indonesia keturunan Cina, dijarah dan dibakar. Lebih dari 2.500 orang meninggal dunia, kebanyakan para penjarah yang terperangkap dalam bangunan yang terbakar.

“Apa yang akan terjadi bila kerusuhan jalan terus? Bayangkan kota Jakarta tanpa air?” kenang presiden direktur PAM Jaya Rama Boedi, yang tidur di kantor selama seminggu di tengah kerusuhan berlangsung.

Saya beberapa kali mewawancarai Rama Boedi. Dia seorang insinyur lulusan ITB. Ia pecinta ilmu bela diri. Tubuhnya berotot dan mendapat julukan “Rambo” –plesetan dari karakter film Hollywood yang diperankan Sylvester Stallone. Kata “rambo” juga gabungan dari dua suku kata pertama namanya “Ra(ma)-Boe(di).” Rambo yang satu ini mendapat telepon bertubi-tubi dari sejumlah manajer PAM Jaya, menanyakan apa yang seharusnya mereka lakukan.

“Stok bahan kimia ini cuma cukup tiga hari. Apa harus berhenti dulu nih?” tanya Djoni Heryanto, manajer instalasi air di Buaran, Jakarta Timur.

“Pak ini gimana?” tanya yang lain.

Tak mudah bagi Rama untuk menjawab. Kedua tangannya terbelenggu. Baru tiga bulan yang lalu, operasi PAM Jaya dialihkan ke tangan konsorsium swasta.

Jajaran manajer PAM Jaya ini juga cemas, karena orang Prancis dan Inggris telah melarikan diri dari Jakarta. Sejumlah kedutaan besar negara-negara Barat, termasuk Perancis dan Inggris, sebelumnya telah mendesak warganya untuk meninggalkan Jakarta. Bos-bos Lyonnaise des Eaux dan Thames Water juga tergopoh-gopoh kabur dari Jakarta, yakin bahwa mitra lokal mereka dapat menangani pengelolaan tersebut selama mereka tidak ada. “Mereka bahkan tidak menelepon saya,” kata Rama.

Rama memutuskan untuk mengirimkan laporan ke Gubernur Sutiyoso, pada hari Jumat, atau sehari sesudah pengunduran diri Suharto. Sutiyoso langsung mengeluarkan instruksi tertulis, minta Rama Boedi untuk mengambil langkah-langkah guna mengamankan layanan air dan “apabila perlu mengambil alih pengelolaan tersebut sepenuhnya guna mengisi kekosongan.”

Keesokan harinya Rama mengundang Iwa Kartiwa dan Fachry Thaib, masing-masing presiden direktur PT Garuda Dipta Semesta dan PT Kekar Thames Airindo, bersama beberapa pembantu mereka, agar datang ke markas besar PAM Jaya.

Pertemuan tersebut mulai sekitar pukul 10 pagi dan berlangsung di sekeliling meja bundar dalam ruang rapat PAM Jaya. Belasan petinggi dan manajer PAM Jaya datang dalam pertemuan tersebut. Di luar ruang pertemuan, para karyawan menggelar demonstrasi. “Situasinya tegang sekali,” kenang Efendy Napitupulu, seorang manajer PAM Jaya, seraya berkata bahwa sejumlah orang di dalam dan di luar ruang pertemuan diduganya membawa pistol di balik jaket mereka.

Rama Boedi mengatakan bahwa ia memulai rapat itu dengan menyampaikan secara singkat pada Iwa dan Fachry tentang instruksi Sutiyoso dan meminta mereka menandatangani dokumen penyerahan kembali pengelolaan air ke tangan PAM Jaya. Ia tak bisa menyembunyikan kekecewaannya terhadap para ekspatriat Inggris dan Perancis. Fachry dan Iwa keberatan. Terjadi perdebatan antara Rama dan Fachry Thaib.

“Gila ya? Mana orang-orang Anda?” tanya Rama.

“Di Singapore.”

Iwa dan Fachry mencoba sebisa mungkin agar tetap tenang. Fachry sendiri sudah pindah sementara ke sebuah hotel bintang lima demi menghindar dari penjarahan di bilangan tempat tinggalnya. Euforia anti-Suharto masih memanas. Jelas bahwa Iwa dan Fachry paham posisi mereka saat itu. Merekalah kroni Suharto yang kini jadi sasaran tembak.

Rama Boedi mencoba meredakan ketegangan dengan membawa Iwa dan Fachry ke kantornya yang ada di sebelah ruang pertemuan. Beberapa staf inti mengikuti Rama. Fachry dan Iwa akhirnya sepakat untuk menandatangani selembar dokumen, yang secara resmi menyerahkan kembali pengelolaan air ke tangan PAM Jaya.

Pukul 03.05 mereka meninggalkan ruangan. Iwa, Fachry dan rekan-rekan mereka keluar lewat pintu belakang menghindari para karyawan yang sedang berdemonstrasi.

“Terhitung sejak Sabtu pengelolaan sudah ada di tangan saya,” kenang Rama Boedi.

Pada hari Senin, lebih dari 3.000 karyawan PAM Jaya berkumpul di kantor pusat PAM Jaya, mengelu-elukan Rama Boedi dan meneriakkan, “Hidup Rambo, hidup Rambo.”

Di depan karyawannya Rama berbicara. “Lebih baik bagi kita untuk menghentikan kerja sama dengan pihak swasta karena tak menguntungkan PAM Jaya. Saya dengan ini membatalkan kerja sama!”

“Hidup Rambo, hidup Rambo,” seru para karyawan. Sebagian dari mereka memandu Rama di atas pundak mereka. Mereka larut dalam suasana jatuhnya Suharto sekaligus hilangnya perusahaan internasional yang selama ini membuat PAM Jaya tak berdaya.

Namun euphoria ini tidak bertahan lama. Para ekspatriat Inggris dan Prancis menganggap pengambilalihan tersebut ilegal. Dalam sebuah memo internal Lyonnaise des Eaux, yang diberikan Lafrogne kepada saya, mereka menyebut peristiwa tersebut sebagai “kudeta.” Para ekspatriat tersebut kembali ke Jakarta dan menuntut PAM Jaya menaati kontrak hukum.

John Hurcom dan Bernard Lafrogne menanggap tanda tangan Iwa dan Fachry dibuat di bawah tekanan. Artinya, pengambilalihan itu harus dibatalkan. Tapi Hurcom dan Lafrogne juga sadar bahwa mereka harus lebih realistis. Mereka melihat gelombang sentimen anti-Suharto muncul di mana-mana. Orang berlomba-lomba melucuti apa pun yang ada kaitannya dengan keluarga Suharto. Selama Suharto berkuasa, koneksi dengan Suharto dipandang sebagai aset. Kini aset tersebut tak lagi menguntungkan. Sutiyoso menyatakan bahwa perusahaan-perusahaan internasional itu dapat mempertahankan kontrak-kontrak mereka asalkan lepas dari Salim Group dan Sigit Harjojudanto.

Rambo terjepit di antara bosnya dan dua raksasa internasional itu. Pada 1 Juni 1998, tepat satu minggu setelah pidato kemenangannya, Rambo tak berdaya menandatangani sebuah dokumen yang menyatakan bahwa kedua perusahaan internasional tersebut akan membeli saham dari kroni Suharto. Kedua perusahaan internasional itu kemudian memang melepaskan Salim Group dan PT Kekar Pola Airindo. Mereka juga sepakat merundingkan ulang kontrak tersebut, dengan mengakui bahwa kontrak pertama dibuat secara tak adil. Rambo tak bisa berbuat apa-apa.

Zainal Abidin, seorang aktivis serikat pekerja di PAM Jaya, mengatakan pada saya bahwa para karyawan seketika itu juga kehilangan rasa hormat mereka pada Rama. “Minggu sebelumnya kita pikir dia pahlawan. Pidatonya keras sekali, bilang kita harus bela PAM Jaya. Banyak yang menggotong dia. Sekarang dia kembali ke orang asing itu.”

“Pak Rama Boedi pasti frustasi sekali. Dia orang PAM Jaya sejak lulus sekolah. Mimpinya memang jadi direktur PAM Jaya. Dia pikir dia bisa mengembangkan PAM Jaya dan mengubahnya jadi perusahaan yang baik. Ketika akhirnya dia jadi direktur, perusahaan diprivatisasi. Secara psikologis dia tidak senang,” kata Lafrogne.

Lafrogne mengatakan pada saya bahwa Iwa Kartiwa orang jujur, sederhana, dan sangat profesional. “Dia sedih sekali ketika proyek ini diambil,” kata Lafrogne, menambahkan bahwa Salim Group pada awalnya, lepas dari segala keuntungan berlimpah yang datang dari perusahaan-perusahaan mereka, berkeinginan untuk memberikan sesuatu untuk masyarakat Jakarta. Anthony Salim berpendapat layanan air bersih adalah pilihan yang ideal. Tapi kini Suharto sudah lengser dan hidup harus jalan terus tanpa Suharto maupun ... kroni-kroninya.


KALAU Anda berkendara sepanjang sebuah ruas jalan Jakarta menuju batas sebelah timur, Anda harus siap berjuang menghadapi pengemudi bis yang ugal-ugalan, metro mini yang berisik, kemacetan lalu lintas, pengemudi motor yang seenaknya sendiri, dan perempatan jalan yang kacau balau, agar bisa sampai ke sebuah jalan yang membentang di sepanjang sungai Kali Malang. Perjalanan ini akan membawa Anda menuju satu dari instalasi air bersih terbesar di Jakarta. Penduduk setempat menamainya instalasi air Buaran yang merupakan sebuah kompeks yang luas dengan bangunan-bangunan mirip barak militer, tanki-tanki air besar, pipa berbagai ukuran dan penjagaan keamanan. Saya mengujungi Buaran akhir Desember lalu untuk bertemu dengan Efendy Napitupulu dan Taufik Sandjaja, dua aktivis Serikat Pekerja Air Minum (SPAI), bersama dengan sejumlah rekan kerjanya.

SPAI adalah yang terbesar dari empat serikat pekerja yang ada di PAM Jaya. Mereka berkumpul di satu kantor kecil dengan dua kamar, terletak di sebelah kios kecil yang menjajakan minuman ringan, makanan kecil, aspirin, dan rokok. Perempuan yang menjaga kios menyajikan sebotol teh botol dingin untuk saya. Sementara itu, para aktivis itu merokok tak putus-putus sepanjang wawancara berlangsung. “Ini makin susah berhenti! Ada banyak masalah khan!” keluh Napitupulu.

Napitupulu termasuk pentolan SPAI. Dia dan empat aktivis lainnya dipecat manajemen PT Thames PAM Jaya, nama baru PT Kekar Thames Airindo, agaknya gara-gara aktivisme mereka. Menariknya, mereka cukup berpendidikan. Napitupulu sendiri bergelar MBA. Mereka berlima mengadukan pemecatan lewat prosedur hukum ketenagakerjaan dan mereka menang. Mereka pun “ditransfer” dari PT Thames PAM Jaya kembali ke PAM Jaya untuk menjalani “program pembinaan” --artinya mereka tak diberi pekerjaan yang jelas. Masih banyak yang bernasib serupa. Sebagian besar aktivis ini mengatakan tertunda gaji bulanannya. Di Buaran, seorang aktivis mengatakan gajinya baru dibayar setelah 16 bulan. Salah satu pemimpin mereka bahkan meninggal dan seorang lagi kena stroke.

Aktivis-aktivis macam inilah, Napitupulu, Taufik, dan sebagainya, yang mengorganisasi sebagian besar aktivitas serikat pekerja sejak jatuhnya Suharto pada Mei 1998. Mereka menggerakkan demonstrasi di jalan-jalan, bahkan kadang-kadang sampai mengelas pintu gudang-gudang PAM Jaya, demi memprotes konsorsium swasta. Mereka juga mendesak manajemen PAM Jaya untuk bersikap keras dengan konsorsium. Tahun lalu lebih dari 1.000 karyawan PAM Jaya mengajukan gugatan hukum terhadap PAM Jaya dan kedua perusahaan swasta, gara-gara pekerjaan mereka terancam. Kasus tersebut masih ada di tangan pengadilan negeri Jakarta Pusat.

“Sampai lupa jumlah demonya … banyak sekali,” kata Taufik.

Aksi-aksi mereka menarik perhatian media. Taufik juga berkunjung ke berbagai kantor media untuk memberi informasi kepada para editor.

“Saya ketemu Pak Bambang dan cerita soal PAM Jaya,” ujar Feri Watna, seorang insinyur Buaran, mengacu pada Bambang Harymurti, pemimpin redaksi majalah Tempo, yang pernah dua kali menurunkan laporan panjang dalam rubrik bernama “Investigasi” tentang privatisasi PAM Jaya.

Seorang pemimpin serikat pekerja yang merasa geram bahkan pernah mengancam Lafrogne dengan sebilah pisau. Lafrogne melaporkannya kepada polisi. Idris Mansuri membantah bahwa ia serius melakukan tindakan tersebut. Indri mengatakan pada saya bahwa “normal” bagi orang Betawi untuk membawa-bawa pisau ke mana-mana. Polisi menutup kasus ini setelah Idris minta maaf.

Situasi macam inilah, yang mungkin tak nyaman, yang dihadapi RWE Thames Water dan Ondeo Service setelah Suharto lengser. Indonesia mungkin sudah jadi sebuah demokrasi walau chaos. Anthony Salim dan Sigit Harjojudanto tersingkir dan serikat buruk makin punya gigi. RWE Thames Water dan Ondeo tak punya pilihan selain merundingkan ulang kontrak pertama yang dibuat pada 1997.

Presiden B.J. Habibie sendiri tak banyak menaruh perhatian pada PAM Jaya. Perhatian Habibie tersita oleh isu lain, termasuk Timor Timur dan penyelenggaraan pemilihan umum. Pada 1999 Habibie mengijinkan PBB melangsungkan referendum di bekas jajahan Portugis yang diduduki rezim Suharto sejak 1975. Warga Timor Timur memilih merdeka. Sementara di Aceh meletus pemberontakan bersenjata yang serius. Penduduk Papua juga menuntut kemerdekaan. Selain itu Habibie masih harus menghadapi tuduhan sebagai orang yang melindungi Suharto dari tangan hukum.

Pada Oktober 1999 Habibie kalah suara dari Abdurrahman Wahid dalam pemilihan presiden. Indonesia memasuki masa demokratisasi yang jauh lebih kompleks. Wahid berupaya keras mendorong program demokratisasi. Ia memecat jenderal-jenderal nakal bahkan menjanjikan referendum di Aceh. Ia bicara dengan para pemberontak melalui telepon dan mendengarkan keluhan mereka. Wahid bertahan 20 bulan sebelum ia diberhentikan dari kursi kepresidenan pada Juli 2001. Wahid seorang cendekiawan liberal dan aktivis pro-demokrasi, tapi bukan seorang manajer yang baik. Wakilnya, Megawati Soekarnoputri, mengambil alih kendali. Hamzah Haz, ketika itu menjabat menteri, menjadi wakil presiden.

Apa yang bermula sebagai protes terhadap privatisasi kemudian mengerucut menjadi persoalan gaji. Presiden Wahid memutuskan kenaikan gaji pegawai negeri saat ia menjabat. Karyawan PAM Jaya memandang diri mereka “pegawai negeri.” Tapi setelah mereka bekerja untuk RWE Thames Water dan Ondeo Service, mereka sadar bahwa penghasilan mereka sekitar 30 persen lebih rendah dibandingkan dengan gaji kolega mereka yang masih bekerja untuk PAM Jaya. “Kami baru sadar itu ada sekitar 200 yang masih kerja di PAM Jaya lebih enak mereka,” ujar Napitupulu.

Demonstrasi yang terus-menerus bagaimana pun juga mengganggu manajemen konsorsium. Pada periode tersebut, kalau Anda mengunjungi kantor PAM Jaya di mana pun, Anda akan melihat suasana kerjanya mencemaskan. Ada karyawan yang mau bekerja dengan manajemen baru namun lebih banyak lagi yang bekerja sejauh mereka tak melanggar hukum. Sutiyoso belakangan memecat Rama Boedi. Alasannya tak jelas. Banyakyang menduga lantaran Rama tak mendukung privatisasi dan diam-diam memberi angin pada para demonstran.

Pihak konsorsium juga mendapat masalah baru dengan munculnya DPRD yang lebih bertaring. Bulan Desember 1999, Edy Waluyo, ketua DPRD Jakarta, melayangkan surat pada Sutiyoso, menyampaikan bahwa perundingan ulang dengan konsorsium hanya bisa dilaksanakan sampai Februari 2000, “Jika negosiasi tak bisa selesai per 1 Februari 2000, kerja sama harus dibatalkan.”

Buru-buru Sutiyoso mendesak orang-orangnya untuk mempercepat proses perundingan. Tim baru bergerak lebih cepat sekaligus membujuk DPRD untuk meredam tuntutannya. Di sisi lain, Sutiyoso juga menolak permintaan konsorsium agar ia mengusulkan kenaikan tarif air. Air adalah isu politik yang peka. Orang bisa hidup tanpa listrik, tanpa telepon, atau tanpa jalanan mulus, tapi tanpa air mereka akan menderita sekali. Sutiyoso enggan memancing kemarahan rakyat selagi dirinya, sebagai kaki tangan Suharto, masih digugat banyak orang.

Pada 28 Februari 2000, ketika sudah jelas bahwa perundingan tak mungkin tuntas, Edy Waluyo melayangkan surat lagi, memberi Sutiyoso tambahan waktu. Ternyata perundingan berjalan jauh lebih lambat. Sutiyoso terpaksa setuju menaikkan tarif air sebesar 35 persen pada April 2001. Perundingan kedua ternyata sama panjangnya seperti yang pertama. Baru pada 22 Oktober 2001 kontrak kedua, ditandatangani oleh PAM Jaya dan pihak swasta.

Kedua perusahaan internasional pun berganti nama. Sembilan puluh lima persen saham PT Thames PAM Jaya maupun PT PAM Lyonnaise Jaya dimiliki perusahaan induk mereka di London dan Paris. Dua perusahaan Indonesia, masing-masing PT Terra Metta Phora dan PT Bangun Cipta Sarana, hanya punya hak saham lima persen. Kedua pemegang saham minoritas asal Indonesia ini adalah sub-kontraktor dari kedua konsorsium.

Kontrak kedua mencakup 13 perubahan besar. Semula masing-masing konsorsium swasta memiliki kontrol atas rekening escrow. Mereka dapat menarik uang dari rekening tersebut tanpa persetujuan PAM Jaya. Prioritas penggunaan rekening adalah untuk biaya operasi pihak swasta. Mulanya, PAM Jaya juga tak dapat menelaah laporan keuangan pihak swasta. Kini semua itu berubah. Sebuah badan regulator dibentuk. Ketuanya tak lain adalah Achmad Lanti, pensiunan pegawai negeri, yang dulunya terlibat dalam perundingan pertama.


Perbedaan antara kontrak tahun 1997 dan 2001

Juni 1997
Oktober 2001

Sumur dalam
PAM Jaya bertanggung jawab menutup sumur dalam yang banyak dipakai oleh hotel dan pabrik di Jakarta.
Konsorsium menutup sumur dalam bekerja sama dengan dinas pertambangan dan energi.

Pembelian
Tender terbuka untuk pembelian di atas US$ 5 juta. Kontraktor kecil dan mengenah PAM Jaya merasa dirugikan.
Tender terbuka di atas Rp 500 juta (sekitar $50,000 dengan nilai tukar saat itu).

Pasokan air baku
PAM Jaya bertindak sebagai pemasok air baku ke konsorsium, jika PAM Jaya tak mampu melakukannya, pihak konsorsium bisa mencari air baku dari sumber lain dan PAM Jaya harus membayar selisih harga.
Pihak swasta berurusan langsung dengan Perum Jasa Tirta, PDAM, Tangerang, dan PDAM Bogor, yang biasa memasok air baku ke Jakarta. Pihak swasta harus membayar PAM Jaya selisih harga yang dulu dibayar PAM Jaya ke pihak swasta antara 1 Februari 1998 dan penandatanganan kontrak baru (Oktober 2001).

Karyawan


Karyawan PAM Jaya tetap berstatus pegawai negeri namun dipinjamkan ke konsorsium
Karyawan PAM Jaya jadi karyawan konsorsium .Sebuah panel untuk mengurus sengketa perburuhan akan dibuat.

Supervisi
PAM Jaya tak bisa mengambil data dari pihak swasta, tak ada sanksi yang jelas bila pihak swasta tak memenuhi target, juga tak jelas siap yang melakukan supervisi terhadap konsorsium, hanya auditor independen yang bisa memeriksa keuangan konsorsium
Supervisi PAM Jaya tak bisa mengambil data dari pihak swasta, tak ada sanksi yang jelas bila pihak swasta tak memenuhi target, juga tak jelas siap yang melakukan supervisi terhadap konsorsium, hanya auditor independen yang bisa memeriksa keuangan konsorsium Sebuah badan regulator dibentuk dan bersama PAM Jaya, mereka bisa memeriksa keuangan pihak swasta, ada sanksi dan penalti bila pihak swasta tak memenuhi atau terlambat memenuhi berbagai ketentuan.

Escrow account
Pihak swasta bisa mengambil uang dari rekening bersama tanpa persetujuan PAM Jaya. Prioritas penggunaan escrow account ada pada biaya operasi konsorsium
Pihak swasta bisa mencairkan uang dengan persetujuan PAM Jaya dan prioritas adalah membayar utang PAM Jaya

Imbalan air (water charge)
Harga imbalan air naik otomatis tiap enam bulan dengan persetujuan DPRD Jakarta, dan jika ada keterlambatan, selisihnya harus dibayar PAM Jaya, dan tak ada sistem untuk mengingatkan PAM Jaya bila bakal ada selisih
Tarif air direkomendasikan oleh PAM Jaya maupun pihak swasta kepada Badan Regulator. Badan Regulator inilah yang akan berurusan dengan DPRD Jakarta dalam menaikkan tarif air. Selisih sebelumnya akan diaudit oleh BPKP dan pihak swasta harus membayar PAM Jaya

Perselisihan
Mekanisme tiga tingkat: musyawarah, mediasi oleh pakar, dan pengadilan internasional di Singapura
Mekanisme empat tingkat: musyawarah, mediasi oleh Badan Regulator, mediasi oleh para pakar, dan pengadilan baik di Jakarta atau Singapura

Badan Regulator
PAM Jaya melakukan supervisi terhadap pihak swasta
PAM Jaya dan Badan Regulator melakukan supervisi


Sumber: Kontrak tahun 1997 dan 2001 antara PAM Jaya dan konsorsium swasta.

Namun bagi karyawan PAM Jaya, kontrak kedua lebih merugikan mereka. Kontrak ini menyatakan bahwa hanya ada “status tunggal” bagi karyawan. Mereka harus memilih: jadi pegawai konsorsium atau menerima “golden hand shake” –istilah halus untuk pemecatan. Dengan kata lain, kontrak kedua ini bisa menjadi dasar pemecatan besar-besaran.

“Saya mulai curiga ketika melihat status kerja,” kata Efendy Napitupulu.

Bernard Lafrogne mengatakan bahwa pada 1998 mereka mulai beroperasi dengan nisbah 7,72 pekerja per 1.000 sambungan air. Pada 2001 nisbah tersebut turun jadi 4,71 pekerja. “Jika kita lihat pada Malaysia atau Manila, sekitar tiga orang saja sudah cukup, perusahaan akan lebih efisien.”

Taufik Sandjaja menjelaskan, jumlah pegawai telah turun dari 3.000 menjadi 2.200 pada Desember 2003, seraya menambahkan bahwa setengah dari mereka yang memilih meninggalkan PAM Jaya terpaksa mengambil uang pesangon. Namun 1.110 dari 2.200 yang tertinggal itulah yang mengajukan gugatan hukum melawan PAM Jaya dan konsorsium.

Dalam wawancara dengan para aktivis di kantor kecil mereka di Buaran, saya bertanya, “Mana dari kedua operator tersebut yang lebih baik?” Ini memang bukan pertanyaan mudah karena kedua perusahaan bekerja sama dengan erat dan berkomunikasi secara rutin. Tapi para aktivis itu rata-rata menyatakan PT PAM Lyonnaise Jaya lebih memahami budaya lokal daripada PT Thames PAM Jaya milik RWE Thames Water.

Saya bertanya apa beda Thames Water dulu dengan manajemen RWE Thames Water sesudah merger? “Ada kemajuan sejak mereka dengan RWE. Masih pola lama, tapi mereka berusaha membentuk satu komunitas di karyawan, dikondisikan agar mau bekerja sama dalam menunjang policy kepegawaian. Misalnya, alih status dari karyawan PAM menjadi karyawan mereka. Buntutnya rasionalisasi. Ujung-ujungnya rasionalisasi,” kata Taufik, yang berstatus tenaga pemasaran PT PAM Lyonnaise Jaya.

Ponimin, aktivis SPAI yang lain, mengatakan bahwa tak banyak kebijakan yang berubah. Itulah alasan mereka melancarkan gugatan hukum. “Ini ide kita semua. Semua sudah kita lewati, Departemen Tenaga Kerja, Gubernur dan sebagainya. Untuk mencari keadilan, kami masuk ke pengadilan, untuk dapat kekuatan hukum. Dulu ada Foska PAM Jaya tapi sifatnya lobby-lobby saja. Ada jawaban, tapi ya cuma omongan. Lalu kita bikin SPAI,” kata Ponimin.

Persoalan tak berpusar pada tarik urat leher semata. Ada juga tawaran yang menggiurkan. Taufik menyodorkan sebuah contoh. Satu kali ia “ditawari” memimpin bagian perburuhan PT Thames PAM Jaya.

“Saya tolak tentu,” katanya, “Itu khan namanya berkhianat?”

Dari Buaran, saya punya kesan yang campur aduk tentang Napitupulu dan rekan-rekannya. Bagaimana pun mereka berjuang untuk sebuah cita-cita, yang mungkin tak sepenuhnya bisa dimengerti orang, terutama mereka yang berada di Bank Dunia atau perusahaan air, tapi saya melihat mereka banyak berkorban untuk cita-cita mereka.


RHAMSES Simanjuntak bekerja dari sebuah ruang yang lapang di lantai 29 gedung Danamon Aetna di Jalan Sudirman, kawasan bisnis paling mahal di Jakarta. Ia seorang lelaki paruh baya dengan rambut keperakan dan badan besar. Ketika saya menemuinya Desember lalu, ia sedang bekerja dengan laptop mungilnya di meja kerja yang tertata rapi.

“Duduk dulu. Saya selesaikan pekerjaan sedikit,” katanya.

Simanjuntak adalah salah seorang tokoh yang paling berpengaruh untuk urusan air bersih di Jakarta. Ia direktur PT Thames PAM Jaya yang mengurusi “external relations and communication”. Artinya, ia orang Thames Water yang bertugas menghadapi DPRD Jakarta, pejabat PAM Jaya, orang Badan Regulator, para aktivis, juga wartawan seperti saya. Ia satu-satunya orang Indonesia yang duduk di dewan direksi konsorsium tersebut.

Dulu Simanjuntak seorang akuntan. Pada Agustus 1996 ia memutar haluan yang mengubah seluruh jalan hidupnya. Ia memutuskan bergabung dengan PT Kekarpola Thames Airindo.

“Ya, saya cuma cari pekerjaan dan bergabung di sini. Biasa saja,” kata Simanjuntak, seraya menambahkan bahwa ia serta merta ikut mempersiapkan privatisasi PAM Jaya. Simanjuntak banyak membantu Fachry Thaib, orang kepercayaan Sigit, dalam melakukan perhitungan privatisasi.

Ia juga saksi mata pengambilalihan PAM Jaya pada Februari 1998, juga saksi krisis ekonomi yang kemudian memuncak seiring kejatuhan Presiden Suharto. Namun, Simanjuntak bisa tetap bercokol di posisinya saat orang Indonesia lain, termasuk Fachry dan Iwa Kartiwa, harus angkat kaki dari bisnis air ini.

Efendy Napitupulu mengatakan bahwa Simanjutak menanjak dari yang tadinya “naik Mikrolet” menjadi naik “Land Cruiser” yang mahal. Menurut Budi Saroso, mantan rekan Simanjuntak di PT Kekar Thames Airindo, yang ikut terpental dari perusahaan itu sesudah jatuhnya Suharto, “Rhamses tidak join (proyek) dari awal. Dia gabung di tengah-tengah perundingan. Keahliannya finance. Tapi dia kerja untuk Thames, tidak pada kita, karena masalah keuangan ada pada Thames.”

Simanjuntak menerangkan panjang lebar pada saya bahwa RWE Thames Water punya komitmen jangka panjang di Indonesia, dengan mengatakan bahwa proyek air bersih di Jakarta ini adalah satu-satunya proyek Thames Water di Indonesia. Mereka ingin bisnis ini berhasil. “Bahkan saat krisis ekonomi dan politik, komitmen Thames Water tetap terjaga,” katanya. Thames Water terus mempertahankan komitmen mereka di Jakarta sejak kontrak 1997.

Simanjuntak mengatakan, RWE Thames Water punya bisnis lain di kawasan ini, yang dikendalikan baik dari Singapura maupun Australia, tapi nilainya relatif kecil dibandingkan dengan modal pada PT Thames PAM Jaya. Sejak 1997 perusahaannya telah menanamkan modal sebesar Rp 434 milyar dan berencana untuk menanamkan lebih banyak lagi sampai di atas Rp 1 trilyun pada 2007 nanti.

Ketika saya bertanya mengapa Thames Water awalnya bekerja sama dengan Sigit Harjojudanto dan memanfaatkan pengaruh Sigit dalam perundingan, ia langsung menepis dugaan adanya permainan. Ia mengatakan perundingan pertama itu memang alot, “Kalau memang ada kemudahan, mengapa kita negosiasi hingga satu tahun lebih?”

Lantas bagaimana menilai kinerja konsorsium ini? Hingga Desember 2003 atau bulan terakhir dari lima tahun pertama kontrak 25 tahun yang mereka dapatkan, baik PT Thames PAM Jaya maupun PT PAM Lyonnainse Jaya, berhasil melakukan konsolidasi terhadap sebagian besar jaringan PAM Jaya. Mereka secara drastis memangkas jumlah karyawan. Mereka juga bekerja sama dengan BCA, bank swasta terbesar Indonesia, untuk memberikan fasilitas pembayaran air pada para pelanggan lewat ATM.

RWE Thames Water sempat menghadapi masalah yang memalukan ketika proyek bantuan Bank Dunia mereka di kawasan kumuh, Marunda, sebelah utara Jakarta, berantakan. Pada Juli dan Agustus 2003, sejumlah warga Marunda mengadakan demonstrasi atas buruknya layanan air di sana. Perusahaan Inggris-Jerman ini awalnya berniat membangun jaringan distribusi pipa ke Marunda. Namun tekanan air yang rendah dan kurangnya daya tekan pompa membuat air mengalir pelan ke Marunda. Buntutnya, warga Marunda protes.

Menurut data Badan Regulator, baik RWE Thames Water dan Ondeo telah meningkatkan sambungan air dari sekitar 428,764 pada 1997 ke hampir 650,000 pada Desember 2003. Cakupan layanan air bersih pun meningkat dari 43 persen pada 1997 menjadi 53 persen pada 2003. Penjualannya juga meningkat dari 191 juta ke 255 juta meter kubik air.

Simanjuntak mengatakan PT Thames PAM Jaya secara khusus meningkatkan sambungan di sebelah timur Jakarta dari 268,000 pada 1997 menjadi 320,000 pada 2001 dan kemudian 336,550 pada 2003. Artinya, terjadi peningkatan sebesar 26 persen dalam waktu lima tahun pertama.

Secara umum layanan jelas lebih baik, terutama untuk daerah-daerah kelas menengah dan elit di Jakarta seperti Pondok Indah dan Kemang, tapi perusahaan internasional tersebut gagal memenuhi target-target teknis sebagaimana tertera dalam kontrak tahun 1997. Volume yang terjual pada bulan Desember 2003 adalah 255 juta meter kubik air. Padahal targetnya 342 juta. Mereka bisa melayani 53 persen penduduk Jakarta sementara targetnya adalah 70 persen. Mereka berhasil menekan tingkat air tak tertagih menjadi 47 persen, sedang targetnya adalah 35 persen.

Achmad Lanti dari Badan Regulator mengatakan bahwa sekitar 40.000 sampai 45.000 dari total sambungan sekitar 650.000 memiliki layanan buruk, mulai dari tak setetes pun air mengalir sampai tekanan air yang rendah seperti di Marunda.

“Kami dapat banyak laporan, air hanya mengalir dua atau tiga jam sehari,” kata Lanti.

Pendek kata, dalam hal kualitas dan kuantitas, konsorsium gagal memenuhi target. “Saya bilang pada mereka namun mereka membantah. Mereka tidak percaya pada temuan Badan Regulator sehingga harus diundang tim pakar untuk melakukan evaluasi,” lanjutnya.


Perbandingan antara Target dan Pencapaian (2003)

Target
RWE Thames Water
Ondeo Service
Pencapaian

Jumlah sambungan
757,129
336,550
312,879
649,429

Cakupan pelayanan air bersih
70%
62.17%
44.17%
53.17%

Air tak tertagih (non revenue water)
35%
48.28%
45.3%
46.79%

Volume terjual (juta m3)
342
128.96
126.2
255.16

Sumber: Kontrak 1997 dan data dari Badan Regulator pada 2003

Pengeluaran mereka juga memicu kritik. Atjeng Sastrawidjaja dari Badan Pemeriksa Keuangan Publik (BPKP) Jakarta menulis dalam sebuah laporan pada Mei 2000 bahwa biaya operasional dari perusahaan internasional tersebut terlalu tinggi. Mereka menyewa kantor-kantor baru di dua gedung di kawasan bisnis Jakarta, termasuk kantor Simanjuntak, ketimbang memanfaatkan aset PAM Jaya yang ada. Gaji para ekspatriat pun relatif tinggi.

Sejumlah ekspartriat digaji sekitar US$100,000 atau sekitar Rp 800 juta per tahun di luar fasilitas penunjang lainnya, termasuk mobil dan tunjangan keluarga.

“Kita tak tahu persis jumlahnya satu per satu tapi angka $100,000 bisa dilihat dari anggaran mereka,” kata Alizar Anwar, direktur eksekutif Badan Regulator.

Simanjuntak membela diri dengan mengatakan bahwa sewa gedung Danamon Aetna tersebut relatif murah akibat devaluasi rupiah, “Orang bilang kita bayar terlalu mahal atau mobilnya terlalu mewah. Tapi kita toh harus tahu mereka ini expatriates harus hidup sesuai dengan standar hidup mereka di negeri asalnya.”

Ketika saya menanyakan pertemuan Duta Besar Richard Gozney dengan Wakil Presiden Hamzah Haz, Simanjuntak mengatakan bahwa ia tak banyak tahu ide awalnya. Pertemuan itu kemungkinan besar gagasan John Trew, atasannya. Tapi Simanjuntak menekankan logika kenaikan tersebut, “Penyesuaian itu diperlukan untuk menutup inflasi yang membuat harga listrik, bahan kimia, dan gaji karyawan naik, maupun investasi.”

Achmad Lanti juga mendukung kenaikan tarif karena consumer price index (CPI) naik sebesar 156 persen dari Februari 1998 sampai Januari 2004. Sementara, total kenaikan tarif air sebelumnya sebesar 18, 25 dan 40 persen, masih lebih rendah dibandingkan indeks tadi. CPI adalah sebuah indeks untuk mengukur kenaikan harga barang-barang dan layanan jasa. Angka ini juga mengukur laju inflasi.

Walau setuju kenaikan tarif air, Lanti mempertanyakan biaya operasi konsorsium itu. Apa benar-benar masuk akal? Ia menyebutkan bahwa sangat sulit membangun kepercayaan dalam kerja sama yang sudah berlangsung sejak 1997 ini. Baik PAM Jaya maupun pihak swasta saling tak percaya, bahkan untuk data dasar sekalipun mereka sering berbeda pendapat. Lebih buruk lagi, kedua pihak, terutama pihak konsorsium, juga tidak memercayai Badan Regulator, sampai pada titik keduanya sepakat mengundang pihak ketiga, “tim pakar internasional” untuk datang ke Indonesia dan menghitung semuanya.

Satu dari sejumlah pertikaian adalah soal hitung-hitungan. PAM Jaya menyatakan total utangnya pada konsorsium sekitar Rp 600 milyar, sedangkan Thames Water dan Ondeo mematok angka total Rp 900 milyar.

Dalam kontrak 2001, kedua pihak sepakat bila terjadi pertikaian, mereka akan menggunakan mekanisme empat tingkat: (1) musyawarah; (2) mediasi lewat Badan Regulator; (3) pakar internasional; (4) peradilan baik di Jakarta atau Singapura.

Ternyata mereka tak bisa bermusyawarah. Perbedaan pendapat dengan Badan Regulator muncul setelah lembaga itu mempertanyakan efisiensi pemakaian uang oleh pihak swasta. Tapi laporan tersebut disanggah konsorsium. “Ya tidak apa-apa bukan? Kita punya alasan kita sendiri,” kata Simanjuntak. Akhirnya, mereka sepakat mengundang sebuah perusahaan Amerika untuk mengadakan penelitian selama setahun.

Sutiyoso jarang mengungkapkan pendapatnya tentang kontroversi PAM Jaya ini, tapi satu kali ia mengatakan pada wartawan bahwa ia menyewa konsultan dari Singapura untuk mempelajari kontrak tersebut. Para konsultan mengatakan ada 11 butir dari kontrak tahun 2001 yang jelas-jelas menguntungkan pihak konsorsium, “Salah satunya adalah ketentuan bahwa tarif air harus naik setiap enam bulan sekali.”

Rama Boedi mengatakan, ia tak menentang privatisasi. Tapi seharusnya privatisasi dipersiapkan dengan lebih baik. Menurutnya, Presiden Suharto terlalu tergesa-gesa dan mengambil jalan pintas. Dalam perenungannya, Rama juga menyesali mengapa kedua perusahaan raksasa itu mengambil cara bekerja sama dengan kroni-kroni Suharto.

“Mereka perusahaan besar, mereka tak perlu menggunakan cara-cara kotor dalam negosiasi awal itu,” kata Rama.

Namun susah juga menilai orang macam Bernard Lafrogne sebagai karakter yang jahat. Lafrogne akrab dengan Indonesia. Ia meyakini bahwa keterlibatan orang Indonesia adalah metode penting untuk mengelola bisnis air. Ondeo membawa pengetahuan dan ketrampilan, sementara mitra Indonesia mereka memberikan sentuhan lokal.

Sekarang keadaan makin sulit. Kalau mekanisme “pakar internasional” tak bisa menyelesaikan sengketa, langkah selanjutnya adalah pengadilan. Achmad Lanti menjelaskan kalau sampai pihak swasta angkat kaki dari Jakarta, maka pemerintah harus mengeluarkan uang sekitar Rp 3 triliun untuk mengganti keseluruhan biaya investasi dan kerugian para investor, plus membayar 50 persen dari keuntungan yang diproyeksikan pihak swasta sepanjang sisa masa berlakunya kontrak.

Angka tersebut hanya perkiraan dan harus disetujui kedua pihak, PAM Jaya dan pihak swasta, kalau memang pihak swasta harus angkat kaki. Namun berapa pun angkanya, kelihatannya tak ada jalan keluar yang mulus untuk sengketa air ini, dan apa pun yang terjadi, tak sulit untuk meramal bahwa yang paling bakal dirugikan adalah seluruh warga Jakarta. Mereka akan rugi karena pelayanan air bisa terganggu dan lebih rugi lagi karena uang merekalah yang akan dipakai membayar petualangan ini.

Sebelum meninggalkan kantornya, saya bertanya pada Rhamses Simanjuntak, apa yang ia senangi dari bisnis air ini.

“Semua orang butuh air. Ini komoditi yang dibutuhkan semua orang. Ini adalah komitmen hidup saya. Saya mau pensiun di sini,” kata Simanjuntak.

Saya hanya diam, tapi setuju pada ucapannya. Bisnis air, bila dikelola dengan modal besar dan didukung kekuatan politik yang kuat, adalah bisnis yang menjanjikan. Tak heran kalau Simanjuntak merasa aman.*

Catatan:

Naskah ini pada awalnya adalah liputan investigasi Andreas Harsono untuk International Consortium of Investigative Journalists, sebuah proyek konsorsium para wartawan investigasi sedunia yang didirikan oleh Center for Public Integrity, pada 1997. Harsono memang salah satu dari dua orang warga Indonesia, yang jadi anggota konsorsium tersebut. Naskah ini, yang dikerjakannya selama setahun penuh, diturunkan bersama naskah-naskah lain yang memantau aktivitas privatisasi air di seluruh muka bumi, mulai Amerika Latin, Eropa sampai Afrika. Liputan ICIJ ini memenangkan sejumlah penghargaan internasional. Tahun 2003, Harsono membawanya ke sidang Asien Haus di Jerman dan mempresentasikannya dalam judul "Water Privatization". Beberapa bulan kemudian, pada awal 2004, ICIJ mengizinkan majalah Pantau untuk memuatnya dalam versi bahasa Indonesia. Pantau meminta bantuan Gita Widya Laksmini untuk menerjemahkannya. Rencananya, naskah ini akan diterbitkan pada Maret 2004 dalam judul "Diplomasi Air Kotor, Investasi Air Besar". Sungguh sayang, majalah Pantau keburu berhenti terbit. Oleh Harsono, naskah kemudian dialihkan ke majalah Gatra dan dimuat dalam salah satu edisi di bulan Mei 2004 dengan judul "Dari Thames ke Ciliwung" yang dipecah-pecah ke dalam beberapa naskah sidebar.


Andreas Harsono
WAKIL Presiden Hamzah Haz adalah politikus kawakan yang tahu cara memanfaatkan media, dan lebih penting lagi, menggunakan media untuk mencapai tujuan politisnya. Ia menunjukkan ketrampilan itu sekali lagi pada 3 November lalu, ketika bertemu duta besar Inggris untuk Indonesia, Richard Gozney. Tentu saja, pertemuan mereka tertutup, tapi setelah mengantar tamunya ke luar istana Wakil Presiden di bilangan Kebon Sirih Jakarta, Hamzah membiarkan dirinya dikerubuti wartawan.

Hamzah memasang senyum di depan kamera, kemudian mengatakan bahwa ia dan Gozney baru saja membicarakan soal PT Thames PAM Jaya, anak perusahaan Inggris Thames Water. Gozney minta Hamzah membantunya menaikkan tarif air di Jakarta dalam upaya penyelamatan PT Thames PAM Jaya, yang menderita kerugian finansial sebesar US$58 juta selama tiga tahun terakhir. Per bulannya perusahaan itu merugi rata-rata $1.5 juta dan sangat mungkin angkat kaki dari Jakarta. Kenaikan tarif yang dibutuhkan untuk mengatasinya sekitar 20 persen.

Petang itu, ketika Gozney masih dalam perjalanan pulang, program berita malam di televisi sudah menyiarkan pertemuan mereka. Pagi berikutnya pernyataan Hamzah jadi berita utama di sejumlah surat kabar Jakarta. The Jakarta Post memasang tajuk, “Gozney Wants Water Rates Hiked.” Di London, tempat markas Thames Water berada, surat kabar Guardian memberitakan pertemuan tersebut dari sudut berbeda, “Jakarta Unit Drains Thames Cash.”

Thames Water adalah satu dari sejumlah pengelola air terbesar di dunia. Sejarah konglomerat ini berawal di London pada abad ke-17. Namun bentuk modernnya baru terwujud pada 1989, di masa pemerintahan Perdana Menteri Margareth Thatcher, ketika Thatcher menswastakan sejumlah badan usaha milik negara termasuk Water Authority. Thames Water, hasil privatisasi Water Authority, kemudian melebarkan sayap dan beroperasi di berbagai tempat di dunia. Pada 2001 sebagian besar saham Thames Water dibeli konglomerat Jerman, RWE Group, yang bermarkas di Essen. Nama perusahaan tersebut kemudian diubah jadi RWE Thames Water.

Satu dari banyak proyek Thames Water ada di Jakarta. Pada Juni 1997, atau empat tahun sebelum merger Jerman-Inggris itu terjadi, Thames Water mendapat kontrak selama 25 tahun untuk membentuk usaha modal bersama dengan perusahaan air milik negara di Jakarta, Perusahaan Air Minum Jakarta Raya (PAM Jaya). Saat itu Thames Water menggandeng Sigit Harjojudanto, putra sulung Presiden Suharto.

Tapi Jakarta terlalu besar untuk dikelola satu perusahaan saja. Presiden Suharto kemudian membagi Jakarta dengan mengikuti aliran Sungai Ciliwung. Thames Water mendapat bagian timur Ciliwung. Lyonnaise des Eaux milik konglomerat Prancis Suez (belakangan ganti nama menjadi Ondeo Service) kebagian jatah di sebelah barat. Suez bekerjasama dengan Salim Group, yang ketika itu adalah konglomerat terbesar di Indonesia. Konsorsium ini mulai bekerja pada Februari 1998 dengan tanggung jawab utama menjaga pasokan, distribusi, dan pembayaran air bersih buat penduduk Jakarta.

Sialnya, tiga bulan kemudian, pada Mei 1998, Presiden Suharto jatuh di tengah-tengah krisis ekonomi di sejumlah negara Asia. Kerusuhan pecah di berbagai tempat di Indonesia. Sejumlah organisasi politik menuntut Suharto diadili karena korupsi. Banyak orang percaya bahwa anak-anak dan kroni Suharto juga terlibat dalam sederet kerja sama bisnis yang dilakukan secara kotor.

Alhasil, baik Thames Water dan Suez, dua dari sekian perusahaan internasional yang terkait dengan bisnis keluarga Suharto, terpaksa membicarakan ulang kesepakatan mereka dengan PAM Jaya. Ekonomi Indonesia terpuruk akibat krisis ekonomi. Rupiah terdevaluasi terhadap dollar Amerika dari Rp 2.300 pada Juli 1997 ke lebih dari Rp 10.000 di pertengahan 1998.

Kedua konsorsium berusaha mempertahankan operasi mereka, tapi tak seorang pun menyangka bahwa devaluasi bisa terjadi begitu liar. Pemerintah Jakarta dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jakarta terus-menerus terlibat dalam perundingan dengan konsorsium tersebut untuk membahas kenaikan tarif air. Singkat kata, sejak mulai beroperasi pada Februari 1998 hingga pertemuan Hamzah dan Gozney, sudah terjadi tiga kali kenaikan tarif. Kenaikan pertama sebesar 18 persen, disusul 25 persen pada April 2001, dan menjadi 40 persen pada terjadi April 2003. Namun tarif (water tariff) itu terhitung rendah, secara rata-rata, bila dibanding imbalan air (water charge) yang harus PAM Jaya bayarkan pada para pengelola air internasional tersebut.

Saat Gozney berkunjung menemui Hamzah Haz, gagasan untuk sekali lagi menaikkan tarif air mendapatkan kecaman dari berbagai aktivis organisasi konsumen, beberapa lembaga swadaya masyarakat, dan sejumlah partai politik. Mereka berpendapat, baik RWE Thames Water maupun Suez gagal memperbaiki layanan dan efisiensi, yang ditandai dengan adanya gangguan pasokan air, kualitas air yang buruk, dan angka kebocoran air yang mencapai 45 persen. Organisasi konsumen air, Komparta, bahkan mengajukan gugatan ke pengadilan, dengan alasan layanan yang disediakan konsorsium ini jauh dari memuaskan.

Bagaimana situasi rumit ini bisa melibatkan Richard Gozney? Apakah ini lantaran kedekatannya dengan sejumlah pemimpin Indonesia? Seberapa jauh kelancarannya berbahasa Indonesia, lengkap dengan sebersit aksen ala Jakarta, dapat membuka jalan sehingga dirinya bisa menembus struktur kekuasaan Jakarta yang sedemikian kompleks?

Said Budiary, salah seorang asisten Hamzah Haz, dalam wawancara dengan saya mengatakan bahwa Gozney sebelumnya telah berbicara dengan Gubernur Jakarta Sutiyoso. Gozney minta Sutiyoso menaikkan tarif air. Namun Sutiyoso berkata bahwa ia perlu dukungan kuat agar bisa menaikkan tarif, dengan menyebut bahwa dukungan tersebut haruslah datang dari “yang di atas” (Said juga kolumnis majalah Pantau).

Gozney, dengan dukungan John Trew, presiden direktur PT Thames PAM Jaya, semula bermaksud mendekati Presiden Megawati Sukarnoputri. Namun, jadwal Megawati agak padat. “Beliau juga sering kurang cepat bergerak,” kata Budairy. Gozney akhirnya mendekati Hamzah.

Menurut Budiary, Hamzah sepakat mendukung kenaikan harga, tapi minta perusahaan Inggris-Jerman itu menerapkan mekanisme subsidi silang antar mereka yang miskin dan yang kaya. Hamzah khawatir bila kenaikan tak terjadi, RWE Thames Water hengkang dari Indonesia. Ini tak hanya menimbulkan masalah air di Jakarta, melainkan membuat gentar pemodal asing lain di Indonesia.

Tekanan tak cuma datang dari kubu Jerman-Inggris. Suez mengirimkan Eric de Muyinck, presiden Ondeo untuk urusan internasional, menemui Gubernur Sutiyoso. De Muyinck dan Michele Tay, presiden Ondeo untuk kawasan Asia, mendatangi kantor Sutiyoso 21 Oktober lalu. Menurut Bernard Lafrogne, wakil Ondeo di Jakarta, pesan mereka singkat saja: naikkan tarif air atau Ondeo Service angkat kaki!

Tekanan dua arah itu berhasil. Gubernur Sutiyoso mendapat dukungan Hamzah Haz. Ia pun mengajukan usul kenaikan air ke DPRD Jakarta pada 10 November 2003 atau seminggu setelah pertemuan Gozney-Hamzah, dengan memasang angka 30 persen, 10 persen lebih tinggi dari angka yang diusulkan Gozney.

Proposal tersebut menjelaskan bahwa 17 persen dari kenaikan tadi akan digunakan untuk melunasi utang PAM Jaya sebesar Rp 900 milyar ($105,88 juta) pada konsorsium swasta, sedang sisanya yang 13 persen dipakai untuk menutupi ongkos inflasi dan biaya operasi pihak swasta. Utang itu hasil kumulatif dari perbedaan antara tarif air yang dibayar pelanggan dan imbalan air yang dibayarkan PAM Jaya kepada perusahaan-perusahaan air internasional tersebut sejak Februari 1998.

Tanpa banyak cingcong, DPRD Jakarta, yang anggotanya juga terdiri dari politisi Partai Persatuan Pembangunan pimpinan Hamzah Haz, menyetujui proposal tersebut pada Desember 2003. Tarif baru yang naik sebesar 30 persen akan berlaku mulai 1 Januari 2004.

Gozney tentu saja senang. Ketika masa kerjanya selesai pada akhir Januari lalu, ia dirayakan dengan sebuah pesta perpisahan yang amat mengesankan! The Jakarta Post menurunkan editorial yang manis untuk Gozney. Gozney tak hanya mampu menjelaskan duduk persoalan Perang Irak pada publik Indonesia, antara lain dengan muncul di layar televisi, tapi juga membela kepentingan usaha dagang Inggris di Indonesia.


KANTOR pusat PAM Jaya terletak di daerah Pejompongan, sebuah permukiman yang lumayan sejuk di tengah hiruk-pikuk Jalan Penjernihan, Jakarta Pusat, yang menuju daerah Tanah Abang. Gedungnya dua lantai dan di salah satu ruang, saya menemui Achmad Lanti.

Lanti seorang birokrat yang piawai bicara tentang pekerjaannya. Ia suka membumbui isi pembicaraan dengan aneka peraturan, angka-angka, tanggal, nama-nama dan data-data lain. Ia berkulit gelap dan sahaja dalam berbusana. Ketika saya mengunjunginya akhir Desember lalu, Lanti kelihatan santai dan seperti biasa menyodorkan bermacam tabel, data, dan angka, yang ia ambil dari sejumlah laci.

Lanti adalah kepala Badan Regulator Pelayanan Air Minum Provinsi DKI Jakarta. Nama lembaga ini cukup panjang, toh tugas utamanya sederhana saja yakni menjadi “wasit” antara pihak swasta dan PAM Jaya. Lanti mulai menjabat pekerjaan ini pada November 2001, beberapa bulan setelah ia pensiun dari Departemen Pekerjaan Umum.

Saat itu Badan Regulator baru saja dibentuk. Ia harus menyeimbangkan kepentingan publik, yang membutuhkan air bersih dengan harga murah, dan konsorsium swasta, yang membutuhkan keuntungan finansial atas investasi mereka.

“Ini soal kepercayaan, harus membangun kepercayaan baik dari mitra swasta maupun dari PAM Jaya,” ujarnya.

Lanti bukan wajah baru di bisnis air. Ia datang ke Jakarta pada 1968, setelah lulus dari Institut Teknologi Bandung, lalu merintis karir sebagai birokrat di Departemen Pekerjaan Umum, sebuah departemen yang juga menangani masalah air di Indonesia.

“Saya sendiri tak pernah berlangganan air bersih. Jadi air sumur bagus. Sumur pompa. Jadinya, saya tidak pernah jadi pelanggan air PAM di Jakarta. Sekarang di rumah sendiri di (Jalan) Radio Dalam, air tanah masih bagus. Bagus banget. Saya selalu tinggal di Kebayoran Baru.”

Lanti adalah satu dari segelintir warga Jakarta yang beruntung karena punya sumur bagus. Sebagian besar warga kota ini tak seberuntung Lanti.

Pada 1928 pemerintah kolonial Belanda membangun sistem air bersih yang pertama di Jakarta dengan kapasitas 600 liter per detik. Sistem ini bertujuan melayani kebutuhan 300.000 penduduk yang sebagian besar warga Belanda. Mereka berdiam di lingkaran elit di sebelah utara dan pusat Jakarta. Sesudah Indonesia meraih kemerdekaan pada 1945, sistem ini pelan-pelan diperluas pada 1950-an, meski tak dimaksudkan untuk melayani ekspansi yang terjadi begitu cepat pada 1970-an. Kualitas air menurun tajam akibat industrialisasi besar-besaran, urbanisasi, dan ketiadaan aturan main soal polusi air.

Menurut catatan statistik, pada tahun 1991, populasi penduduk Jakarta nyaris mencapai angka tujuh juta, tapi hanya 45 persen yang bisa menikmati air keran. Jakarta berhasil mendirikan begitu banyak pencakar langit, tapi masih banyak warganya yang menikmati kucuran air keran hanya di malam hari. Banyak dari mereka, terutama yang tinggal di selatan Jakarta, memilih menggali sumur seperti halnya keluarga Lanti, dan menggunakan pompa air berkekuatan tinggi. Di wilayah selatan ini, seperti Kemang, Pondok Indah, atau Lebak Bulus, pengembangan relatif lebih lambat.

Cerita tentang keterlibatan Lanti dengan privatisasi PAM Jaya berawal tanpa rencana. Pada pertengahan 1995 ia diminta mewakili atasannya menghadiri pertemuan dengan Menteri Pekerjaan Umum Radinal Moochtar pada saat Moochtar memaparkan maksud pemerintah menswastakan PAM Jaya.

Paparan tersebut tak muncul sekonyong-konyong. Pada 12 Juni 1995, Presiden Suharto mengemukakan isu privatisasi ini ke Radinal Moochtar. Suharto menginstruksikan Moochtar agar membentuk satu tim untuk menyiapkan privatisasi PAM Jaya dan mengikutsertakan pihak swasta. Suharto menyuruh Moochtar menghubungi PT Kekarpola Airindo, milik Sigit Harjojudanto, dan Salim Group, juga mitra internasional mereka, masing-masing Thames Water dan Lyonnaise des Eaux.

Suharto memiliki kekuasaan amat besar dan ia suka bergerak cepat. Radinal Moochtar paham hal itu. Tiga hari kemudian, Moochtar menyelenggarakan rapat di departemennya dan menyampaikan pada rekan-rekan kerjanya perihal instruksi Suharto. Rapat memutuskan membagi Jakarta menjadi dua zona air dengan garis pembatas Sungai Ciliwung. Bagian barat diberikan pada Salim Group, sedang yang di sebelah timur jadi jatah Sigit. Mereka sepakat membentuk dua tim untuk mengurusi privatisasi ini. Tim pertama menangani peraturan tingkat nasional, termasuk menelurkan peraturan menteri tentang privatisasi air. Tim kedua bertugas melakukan perundingan dengan para penanam modal swasta. Lanti tergabung dalam tim kedua.

Sigit Harjojudanto dikenal berkantong tebal dan punya reputasi sebagai penjudi. Kerjanya kebanyakan menjadi perantara bisnis, dengan memanfaatkan pengaruh ayahnya. Sasarannya tak lain perusahaan multinasional yang hendak beroperasi di Indonesia.

Namun gagasan privatisasi PAM Jaya bukan murni ide Sigit maupun sang ayah. Gagasan ini kemungkinan sudah bergulir pada awal 1990-an. Ketika itu Jakarta tumbuh menjadi salah satu kota yang paling cepat perkembangannya di Asia. Pada Juni 1991, pemerintah Indonesia menandatangani perjanjian utang sebesar US$92 juta dengan Bank Dunia untuk membiayai proyek perbaikan sistem PAM Jaya selama 20 tahun dengan bunga 9.5 persen per tahun. Utang ini digabungkan dengan pinjaman lain dari Overseas Economic Cooperation Fund (Jepang) yang dialokasi untuk membangun instalasi air di Pulogadung, di timur Jakarta.

Thames Water memutuskan bekerja sama dengan Sigit Harjojudanto pada 1993. Sigit minta rekannya, Fachry Thaib, pengusaha asal Aceh, menangani segala urusan dengan Thames Water.

Di Paris, gebrakan Thames Water di Jakarta memicu Lyonnaise des Eaux milik Suez, salah satu konglomerat konstruksi terbesar di dunia, bergerak cepat. Lyonnaise des Eaux minta Bernard Lafrogne, warga Perancis yang bekerja di Jakarta, membuka kantor perwakilan. Lafrogne seorang insinyur kelahiran Vietnam, yang sekolah rekayasa air di Toulouse, Perancis Selatan. Ia pertama kali datang ke Indonesia pada 1977, sewaktu bekerja untuk sebuah proyek Bank Dunia. Ia lancar berbahasa Indonesia dan menikahi perempuan Indonesia. Ia tahu betul isi perut PAM Jaya, karena ia sendiri pernah bekerja sebagai konsultan di sana.

“I was born in water and will die in the water,” kata Lafrogne pada saya.

Lyonnaise des Eaux mendekati CEO Salim Group, Anthony Salim. Salim tertarik tapi ingin tahu lebih dulu cara mengatasi Sigit dan Thames Water. Lafrogne menyarankan untuk membagi kue bisnis. “Jakarta is big enough for two companies,” katanya, seraya menambahkan bahwa layanan air di Manila dan Paris juga dijalankan oleh dua perusahaan. Anthony Salim sepakat dan menunjuk koleganya, Iwa Kartiwa, untuk memimpin perundingan tersebut.

Kubu Inggris dan Perancis berharap instruksi Suharto dapat melancarkan semua proses. Kenyataannya, instruksi itu memang membuka jalan, tapi juga menjadi titik awal sederet perundingan rumit antara konsorsium swasta itu dan PAM Jaya.

PAM Jaya secara teknis berada di bawah Departemen Pekerjaan Umum. Namun PAM Jaya resminya dimiliki pemerintah Jakarta, sehingga para direkturnya juga diangkat dan harus bertanggungjawab kepada gubernur.

Letnan Jenderal Surjadi Soedirdja, yang ketika itu menjabat gubernur Jakarta, dikenal anak buahnya sebagai birokrat yang tegas dan bersih. Ia tak pernah secara terbuka menyatakan opininya terhadap gagasan privatisasi PAM Jaya. Meski terkesan mempertanyakan keputusan Suharto, ia justru menggunakan segala peraturan agar privatisasi tersebut berlangsung sebaik mungkin.

Toh Surjadi harus bertanggungjawab pada atasannya, Menteri Dalam Negeri Moh. Yogie S.M., yang lebih tunduk pada Suharto. Persoalan jadi lebih rumit, karena utang luar negeri PAM Jaya, kebanyakan dengan Bank Dunia, ditandatangani menteri keuangan. Alhasil PAM Jaya juga harus bertanggungjawab pada menteri keuangan.

Bank Dunia, mendukung, bahkan lebih tepat lagi mendesak, privatisasi PAM Jaya. Namun Akira Nishigaki, presiden Overseas Economic Cooperation Fund, secara pribadi pernah berbicara pada Rama Boedi, yang ketika itu menjabat presiden direktur PAM Jaya, bahwa privatisasi itu “masih terlalu pagi.”

Kebanyakan manajer PAM Jaya, termasuk Rama, juga bersikap kritis terhadap rencana tersebut. PAM Jaya mempekerjakan sekitar 3.000 pegawai yang cukup terorganisasi. Mereka mendesak konsorsium swasta untuk memberi fasilitas, yang paling tidak setara dengan, yang mereka dapatkan dari PAM Jaya. Pendek kata, perundingannya lumayan alot.

“Saya ikut rapat pertama di Hotel Sahid Jaya,” kata Achmad Lanti, mengacu pada pertemuan antara konsorsium dan tim pemerintah pada 12-15 Juni 1996. Masing-masing delegasi membawa lima anggota. Tim pemerintah mengikutsertakan birokrat seperti Prawoto Danoemihardjo, Lanti dan Rama Boedi. Sementara tim dari PT Garuda Dipta Semesta membawa Iwa Kartiwa serta Christian Michelon dan Bernard Lafrogne dari Lyonnaise des Eaux. Tim PT Kekarpola Airindo mengirimkan Fachry Thaib serta John Blair, Lindsey Dawes, dan Les Crowther dari Thames Water.

Enam puluh persen saham PT Garuda Dipta Semesta dikuasai Salim Group dan 40 persen sisanya dimiliki Lyonnaise des Eaux. Thames Water Overseas Ltd. Memiliki 80 persen saham PT Kekar Thames Airindo, sedang 20 persen saham menjadi milik perusahaan Sigit, PT Kekarpola Airindo. Menurut notulensi rapat yang saya dapatkan, pertemuan tersebut menyimpulkan:

• Mereka bersepakat bahwa penanam modal swastalah yang bertanggung jawab menyediakan dana dan memenuhi target-target teknis;
• PAM Jaya akan memantau pencapaian target-target teknis, tujuan dan standar pelayanan, serta membuat rekomendasi seputar penentuan tarif air;
• PAM Jaya akan berdiskusi dengan lembaga pemerintahan terkait guna menegakkan aturan untuk menutup sumur dalam yang ada di tempat-tempat yang terdapat saluran pipa air bersih;
• Mereka akan membagi keuntungan;
• Pemilik modal akan menggunakan aset yang ada pada PAM Jaya namun diskusi lebih jauh perlu dilakukan untuk membahas soal pemilikan aset baru dan sebagainya;
• Para penanam modal sepakat bahwa 100 persen pegawai operasional PAM Jaya akan dialihkan ke tangan penanam modal, dan di akhir tahun pertama, paling tidak 80 persen dari pegawai pihak swasta adalah pegawai yang dialihkan tersebut. PAM Jaya saat itu memiliki 3.053 pegawai dan hanya 250 orang yang bekerja di kantor pusat (bukan staf operasional);
• PAM Jaya akan menyediakan daftar inventarisasi barang untuk dipertimbangkan lebih lanjut oleh penanam modal;
• Mereka belum mencapai kata sepakat seputar tempat penyelesaian kalau timbul pertikaian. PAM Jaya memilih Jakarta sementara para penanam modal memilih negara ketiga;

Kedua pihak menghabiskan lebih dari satu tahun untuk melakukan perundingan. Pemerintah Jakarta mengirimkan sejumlah pejabat, termasuk di antaranya Lanti, Danoemihardjo, juga Rama Boedi, untuk ikut serta dalam perundingan lanjutan. Pengacara, akuntan, konsultan, insinyur, manajer dan birokrat terlibat di dalam perundingan tersebut.

“Kita itu rapat banyak sekali sampai saya lupa jumlahnya. Pindah itu dari hotel ke hotel,” kata Lanti.

Kontrak tersebut akhirnya ditandatangani pada 6 Juni 1997. Masing-masing pihak membubuhkan tanda tangannya di atas dokumen setebal 600 halaman yang terdiri dari sederet bagan, rumus-rumus penghitungan uang, dan tabel-tabel. Gubernur Surjadi Soedirdja menandatangani sendiri kontrak-kontrak tersebut. Sigit Harjojudanto juga hadir. Menurut Bernard Lafrogne dan Iwa Kartiwa, ini kali pertama dan terakhir mereka melihat Sigit setelah tahun demi tahun berlalu dalam proses perundingan ini.

Kontrak itu pada dasarnya berisi kesepakatan membagi laba selama 25 tahun. Pihak swasta wajib mengelola pasokan air baku sampai mengumpulkan uang dari pelanggan PAM Jaya di seluruh Jakarta. Pihak swasta dapat memanfaatkan aset milik PAM Jaya, mulai dari instalasi air sampai gedung perkantoran. Tapi konsorsium swasta mesti membayar utang luar negeri PAM Jaya. Mereka juga harus mempekerjakan 3.000 karyawan PAM Jaya.

Tanggung jawab PAM Jaya adalah memantau kinerja konsorsium swasta. PAM Jaya memantau target teknis dan standar pelayanan, serta menyusun rekomendasi untuk menentukan kenaikan tarif air. Bila muncul pertikaian, mereka sepakat membawanya ke pengadilan Singapura.

Kontrak ini menekankan bahwa lima tahun pertama adalah masa paling penting. Kontrak tersebut dapat dikaji ulang bila konsorsium swasta tak berhasil memenuhi target mereka, terutama seputar persyaratan teknis. Pada 1997 PAM Jaya memiliki 428,764 sambungan air dan menjual 191 juta meter kubik air. Perusahaan ini melayani sekitar 43 persen populasi penduduk Jakarta, tapi 57 persen dari air tersebut dianggap air yang tak tertagih atau kebocoran (non revenue water).

Kontrak tersebut menggariskan bahwa selama lima tahun pertama, konsorsium swasta harus bisa membangun 757.129 sambungan dan menjual 342 juta meter kubik air. Cakupan pelayanan air bersih harus mencapai 70 persen dan air yang tak tertagih harus turun ke angka 35 persen.

Target Teknis dalam Kontrak tahun 1997

1998
1999
2000
2001
2002

Jumlah Sambungan
470.674
571.776
653.885
711.003
757.129

Cakupan pelayanan air bersih
49%
57%
63%
67%
70%

Air yang tak tertagih (non revenue water)
50%
47%
42%
38%
35%

Volume penjualan (juta m3)
210
244
281
317
342


Sumber: kontrak antara PAM Jaya dan konsorsium swasta

Kontrak juga menegaskan bahwa penanaman modal swasta selama lima tahun pertama harus mencapai Rp 732 miliar (US$318 juta dengan nilai tukar Rp 2.300 untuk satu dollar). Tarif air ditentukan DPRD Jakarta. Namun penyesuaian tarif otomatis bisa juga terjadi setiap enam bulan, berdasarkan sebuah rumus penghitungan yang kompleks, apabila DPRD Jakarta butuh waktu lebih lama lagi untuk menaikkan tarif.

Bagaimana menilai kontrak yang rumit ini?

Nila Ardhianie dari Indonesian Forum on Globalization menulis makalah yang disampaikan dalam World Water Forum di Jepang pada Maret 2003, yang menyebutkan bahwa privatisasi tersebut tanpa tender dan menuduh Bank Dunia berperan penting. Nila mengatakan Bank Dunia telah mengucurkan sejumlah pinjaman untuk penanganan air di Indonesia sejak 1968, termasuk di antaranya $92 juta pinjaman untuk PAM Jaya pada 1991. Ironisnya, ketika pinjaman tersebut usai pada 1998, yang terjadi justru privatisasi. Manajemen aset dan manajemen operasional dialihkan ke kedua perusahaan tersebut.

“Ini artinya PAM Jaya tak diberi kesempatan untuk menggunakan aset yang dibangun berdasarkan pinjaman tersebut,” kata Nila.

Argumentasi Nila ada benarnya. Pada Oktober 1997 sebuah tim dari Bank Dunia yang dipimpin ekonom Alain Locussol menerbitkan sebuah laporan berjudul Indonesia Urban Water Supply Sector Policy Framework. Locussol merekomendasikan sejumlah kebijakan untuk memprivatisasi sekitar 300 perusahaan air di seluruh Indonesia. Ia mengusulkan agar pemerintah Indonesia memisahkan “pemilikan aset dari manajemen mereka,” agar pemerintah daerah bisa memiliki aset seputar pengelolaan air tapi tidak mengelola distribusi air.

Locussol berpendapat pemisahan semacam ini dapat mencegah “campur tangan politik lokal” dalam manajemen air. Pemisahan juga membuka peluang bagi swastanisasi. Ini juga memungkinkan “perusahaan pengelola” untuk membentuk sinergi dengan perusahaan lain yang mengelola air di daerah yang berdekatan.

Laporan Locussol mengundang kritik Stephanie Fried dari Environmental Defense Fund yang berbasis di Washington DC. Fried menulis makalah yang mempertanyakan laporan Lucossol. “Tidak satu pun dari analisis sepanjang 54 halaman itu yang menyebut nama-nama dari pemilik konsorsium swasta tersebut,” tulis Fried.

Locussol tak menyebutkan kenyataan bahwa PAM Jaya telah diswastakan dengan Sigit dan Salim. “Siapa yang memiliki kedua konsorsium swasta yang disebut-sebut terus dalam laporan Bank Dunia ini?” Fried bertanya.

Baca Selanjutnya >>>>>

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 32 TAHUN 2002
TENTANG
PENYIARAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
  1. bahwa kemerdekaan menyampaikan pendapat dan memperoleh informasi melalui penyiaran sebagai perwujudan hak asasi manusia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, dilaksanakan secara bertanggung jawab, selaras dan seimbang antara kebebasan dan kesetaraan menggunakan hak berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. bahwa spektrum frekuensi radio merupakan sumber daya alam terbatas dan merupakan kekayaan nasional yang harus dijaga dan dilindungi oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sesuai dengan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945;
  3. bahwa untuk menjaga integrasi nasional, kemajemukan masyarakat Indonesia dan terlaksananya otonomi daerah maka perlu dibentuk sistem penyiaran nasional yang menjamin terciptanya tatanan informasi nasional yang adil, merata, dan seimbang guna mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia;
  4. bahwa lembaga penyiaran merupakan media komunikasi massa yang mempunyai peran penting dalam kehidupan sosial, budaya, politik, dan ekonomi, memiliki kebebasan dan tanggung jawab dalam menjalankan fungsinya sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, serta kontrol dan perekat sosial;
  5. bahwa siaran yang dipancarkan dan diterima secara bersamaan, serentak dan bebas, memiliki pengaruh yang besar dalam pembentukan pendapat, sikap, dan perilaku khalayak, maka penyelenggara penyiaran wajib bertanggung jawab dalam menjaga nilai moral, tata susila, budaya, kepribadian dan kesatuan bangsa yang berlandaskan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab;
  6. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e maka Undang-undang Nomor 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran dipandang tidak sesuai lagi, sehingga perlu dicabut dan membentuk Undang-undang tentang Penyiaran yang baru;
Mengingat:
  1. Pasal 20 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4), Pasal 21 ayat (1), Pasal 28F, Pasal 31 ayat (1), Pasal 32, Pasal 33 ayat (3), dan Pasal 36 Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Keempat Undang-undang Dasar 1945;
  2. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3473);
  3. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3817);
  4. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3821);
  5. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
  6. Undang-undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 154, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3881);
  7. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3886);
  8. Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3887);
  9. Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4220);
Dengan persetujuan bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PENYIARAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
  1. Siaran adalah pesan atau rangkaian pesan dalam bentuk suara, gambar, atau suara dan gambar atau yang berbentuk grafis, karakter, baik yang bersifat interaktif maupun tidak, yang dapat diterima melalui perangkat penerima siaran.
  2. Penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran.
  3. Penyiaran radio adalah media komunikasi massa dengar, yang menyalurkan gagasan dan informasi dalam bentuk suara secara umum dan terbuka, berupa program yang teratur dan berkesinambungan.
  4. Penyiaran televisi adalah media komunikasi massa dengar pandang, yang menyalurkan gagasan dan informasi dalam bentuk suara dan gambar secara umum, baik terbuka maupun tertutup, berupa program yang teratur dan berkesinambungan.
  5. Siaran iklan adalah siaran informasi yang bersifat komersial dan layanan masyarakat tentang tersedianya jasa, barang, dan gagasan yang dapat dimanfaatkan oleh khalayak dengan atau tanpa imbalan kepada lembaga penyiaran yang bersangkutan.
  6. Siaran iklan niaga adalah siaran iklan komersial yang disiarkan melalui penyiaran radio atau televisi dengan tujuan memperkenalkan, memasyarakatkan, dan/atau mempromosikan barang atau jasa kepada khalayak sasaran untuk mempengaruhi konsumen agar menggunakan produk yang ditawarkan.
  7. Siaran iklan layanan masyarakat adalah siaran iklan nonkomersial yang disiarkan melalui penyiaran radio atau televisi dengan tujuan memperkenalkan, memasyarakatkan, dan/atau mempromosikan gagasan, cita-cita, anjuran, dan/atau pesan-pesan lainnya kepada masyarakat untuk mempengaruhi khalayak agar berbuat dan/atau bertingkah laku sesuai dengan pesan iklan tersebut.
  8. Spektrum frekuensi radio adalah gelombang elektromagnetik yang dipergunakan untuk penyiaran dan merambat di udara serta ruang angkasa tanpa sarana penghantar buatan, merupakan ranah publik dan sumber daya alam terbatas.
  9. Lembaga penyiaran adalah penyelenggara penyiaran, baik lembaga penyiaran publik, lembaga penyiaran swasta, lembaga penyiaran komunitas maupun lembaga penyiaran berlangganan yang dalam melaksanakan tugas, fungsi, dan tanggung jawabnya berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  10. Sistem penyiaran nasional adalah tatanan penyelenggaraan penyiaran nasional berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku menuju tercapainya asas, tujuan, fungsi, dan arah penyiaran nasional sebagai upaya mewujudkan cita-cita nasional sebagaimana tercantum dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  11. Tatanan informasi nasional yang adil, merata, dan seimbang adalah kondisi informasi yang tertib, teratur, dan harmonis terutama mengenai arus informasi atau pesan dalam penyiaran antara pusat dan daerah, antarwilayah di Indonesia, serta antara Indonesia dan dunia internasional.
  12. Pemerintah adalah Menteri atau pejabat lainnya yang ditunjuk oleh Presiden atau Gubernur.
  13. Komisi Penyiaran Indonesia adalah lembaga negara yang bersifat independen yang ada di pusat dan di daerah yang tugas dan wewenangnya diatur dalam Undang-undang ini sebagai wujud peran serta masyarakat di bidang penyiaran.
  14. Izin penyelenggaraan penyiaran adalah hak yang diberikan oleh negara kepada lembaga penyiaran untuk menyelenggarakan penyiaran.
BAB II
ASAS, TUJUAN, FUNGSI, DAN ARAH
Pasal 2
Penyiaran diselenggarakan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan asas manfaat, adil dan merata, kepastian hukum, keamanan, keberagaman, kemitraan, etika, kemandirian, kebebasan, dan tanggung jawab.
Pasal 3
Penyiaran diselenggarakan dengan tujuan untuk memperkukuh integrasi nasional, terbinanya watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertakwa, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dalam rangka membangun masyarakat yang mandiri, demokratis, adil dan sejahtera, serta menumbuhkan industri penyiaran Indonesia.
Pasal 4
  1. Penyiaran sebagai kegiatan komunikasi massa mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial.
  2. Dalam menjalankan fungsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), penyiaran juga mempunyai fungsi ekonomi dan kebudayaan.
Pasal 5
Penyiaran diarahkan untuk:
  1. menjunjung tinggi pelaksanaan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. menjaga dan meningkatkan moralitas dan nilai-nilai agama serta jati diri bangsa;
  3. meningkatkan kualitas sumber daya manusia;
  4. menjaga dan mempererat persatuan dan kesatuan bangsa;
  5. meningkatkan kesadaran ketaatan hukum dan disiplin nasional;
  6. menyalurkan pendapat umum serta mendorong peran aktif masyarakat dalam pembangunan nasional dan daerah serta melestarikan lingkungan hidup;
  7. mencegah monopoli kepemilikan dan mendukung persaingan yang sehat di bidang penyiaran;
  8. mendorong peningkatan kemampuan perekonomian rakyat, mewujudkan pemerataan, dan memperkuat daya saing bangsa dalam era globalisasi;
  9. memberikan informasi yang benar, seimbang, dan bertanggung jawab;
  10. memajukan kebudayaan nasional.
BAB III
PENYELENGGARAAN PENYIARAN
Bagian Pertama
Umum
Pasal 6
  1. Penyiaran diselenggarakan dalam satu sistem penyiaran nasional.
  2. Dalam sistem penyiaran nasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Negara menguasai spektrum frekuensi radio yang digunakan untuk penyelenggaraan penyiaran guna sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
  3. Dalam sistem penyiaran nasional terdapat lembaga penyiaran dan pola jaringan yang adil dan terpadu yang dikembangkan dengan membentuk stasiun jaringan dan stasiun lokal.
  4. Untuk penyelenggaraan penyiaran, dibentuk sebuah komisi penyiaran.
Bagian Kedua
Komisi Penyiaran Indonesia
Pasal 7
  1. Komisi penyiaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (4) disebut Komisi Penyiaran Indonesia, disingkat KPI.
  2. KPI sebagai lembaga negara yang bersifat independen mengatur hal-hal mengenai penyiaran.
  3. KPI terdiri atas KPI Pusat dibentuk di tingkat pusat dan KPI Daerah dibentuk di tingkat provinsi.
  4. Dalam menjalankan fungsi, tugas, wewenang dan kewajibannya, KPI Pusat diawasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan KPI Daerah diawasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi.
Pasal 8
  1. KPI sebagai wujud peran serta masyarakat berfungsi mewadahi aspirasi serta mewakili kepentingan masyarakat akan penyiaran.
  2. Dalam menjalankan fungsinya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), KPI mempunyai wewenang:
    1. menetapkan standar program siaran;
    2. menyusun peraturan dan menetapkan pedoman perilaku penyiaran;
    3. mengawasi pelaksanaan peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran;
    4. memberikan sanksi terhadap pelanggaran peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran;
    5. melakukan koordinasi dan/atau kerjasama dengan Peme-rintah, lembaga penyiaran, dan masyarakat.
  3. KPI mempunyai tugas dan kewajiban:
    1. menjamin masyarakat untuk memperoleh informasi yang layak dan benar sesuai dengan hak asasi manusia;
    2. ikut membantu pengaturan infrastruktur bidang penyiaran;
    3. ikut membangun iklim persaingan yang sehat antarlembaga penyiaran dan industri terkait;
    4. memelihara tatanan informasi nasional yang adil, merata, dan seimbang;
    5. menampung, meneliti, dan menindaklanjuti aduan, sang-gahan, serta kritik dan apresiasi masyarakat terhadap penye-lenggaraan penyiaran; dan
    6. menyusun perencanaan pengembangan sumber daya manusia yang menjamin profesionalitas di bidang penyiaran.
Pasal 9
  1. Anggota KPI Pusat berjumlah 9 (sembilan) orang dan KPI Daerah berjumlah 7 (tujuh) orang.
  2. Ketua dan wakil ketua KPI dipilih dari dan oleh anggota.
  3. Masa jabatan ketua, wakil ketua dan anggota KPI Pusat dan KPI Daerah 3 (tiga) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.
  4. KPI dibantu oleh sebuah sekretariat yang dibiayai oleh negara.
  5. Dalam melaksanakan tugasnya, KPI dapat dibantu oleh tenaga ahli sesuai dengan kebutuhan.
  6. Pendanaan KPI Pusat berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan pendanaan KPI Daerah berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Pasal 10
  1. Untuk dapat diangkat menjadi anggota KPI harus dipenuhi syarat sebagai berikut:
    1. warga negara Republik Indonesia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
    2. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
    3. berpendidikan sarjana atau memiliki kompetensi intelektual yang setara;
    4. sehat jasmani dan rohani;
    5. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;
    6. memiliki kepedulian, pengetahuan dan/atau pengalaman dalam bidang penyiaran;
    7. tidak terkait langsung atau tidak langsung dengan kepemilik-an media massa;
    8. bukan anggota legislatif dan yudikatif;
    9. bukan pejabat pemerintah; dan
    10. nonpartisan.
  2. Anggota KPI Pusat dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan KPI Daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi atas usul masyarakat melalui uji kepatutan dan kelayakan secara terbuka.
  3. Anggota KPI Pusat secara administratif ditetapkan oleh Presiden atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan anggota KPI Daerah secara administratif ditetapkan oleh Gubernur atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi.
  4. Anggota KPI berhenti karena:
    1. masa jabatan berakhir;
    2. meninggal dunia;
    3. mengundurkan diri;
    4. dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap; atau
    5. tidak lagi memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 11
  1. Apabila anggota KPI berhenti dalam masa jabatannya karena alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4) huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, yang bersangkutan digantikan oleh anggota pengganti sampai habis masa jabatannya.
  2. Penggantian anggota KPI Pusat secara administratif ditetapkan oleh Presiden atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan anggota KPI Daerah secara administratif ditetapkan oleh Gubernur atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi.
  3. Ketentuan mengenai tata cara penggantian anggota KPI sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut oleh KPI.
Pasal 12
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembagian kewenangan dan tugas KPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, pengaturan tata hubungan antara KPI Pusat dan KPI Daerah, serta tata cara penggantian anggota KPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ditetapkan dengan Keputusan KPI Pusat.
Bagian Ketiga
Jasa Penyiaran
Pasal 13
  1. Jasa penyiaran terdiri atas:
    1. jasa penyiaran radio; dan
    2. jasa penyiaran televisi.
  2. Jasa penyiaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselengga-rakan oleh:
    1. Lembaga Penyiaran Publik;
    2. Lembaga Penyiaran Swasta;
    3. Lembaga Penyiaran Komunitas; dan
    4. Lembaga Penyiaran Berlangganan.
Bagian Keempat
Lembaga Penyiaran Publik
Pasal 14
  1. Lembaga Penyiaran Publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf a adalah lembaga penyiaran yang berbentuk badan hukum yang didirikan oleh negara, bersifat independen, netral, tidak komersial, dan berfungsi memberikan layanan untuk kepentingan masyarakat.
  2. Lembaga Penyiaran Publik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri atas Radio Republik Indonesia dan Televisi Republik Indonesia yang stasiun pusat penyiarannya berada di ibukota Negara Republik Indonesia.
  3. Di daerah provinsi, kabupaten, atau kota dapat didirikan Lembaga Penyiaran Publik lokal.
  4. Dewan pengawas dan dewan direksi Lembaga Penyiaran Publik dibentuk sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  5. Dewan pengawas ditetapkan oleh Presiden bagi Radio Republik Indonesia dan Televisi Republik Indonesia atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia; atau oleh Gubernur, Bupati, atau Walikota bagi Lembaga Penyiaran Publik lokal atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, setelah melalui uji kepatutan dan kelayakan secara terbuka atas masukan dari pemerintah dan/atau masyarakat.
  6. Jumlah anggota dewan pengawas bagi Radio Republik Indonesia dan Televisi Republik Indonesia sebanyak 5 (lima) orang dan dewan pengawas bagi Lembaga Penyiaran Publik Lokal sebanyak 3 (tiga) orang.
  7. Dewan direksi diangkat dan ditetapkan oleh dewan pengawas.
  8. Dewan pengawas dan dewan direksi Lembaga Penyiaran Publik mempunyai masa kerja 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa kerja berikutnya.
  9. Lembaga Penyiaran Publik di tingkat pusat diawasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Lembaga Penyiaran Publik di tingkat daerah diawasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
  10. Ketentuan lebih lanjut mengenai Lembaga Penyiaran Publik disusun oleh KPI bersama Pemerintah.
Pasal 15
  1. Sumber pembiayaan Lembaga Penyiaran Publik berasal dari:
    1. iuran penyiaran;
    2. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
    3. sumbangan masyarakat;
    4. siaran iklan; dan
    5. usaha lain yang sah yang terkait dengan penyelenggaraan penyiaran.
  2. Setiap akhir tahun anggaran, Lembaga Penyiaran Publik wajib membuat laporan keuangan yang diaudit oleh akuntan publik dan hasilnya diumumkan melalui media massa.
Bagian Kelima
Lembaga Penyiaran Swasta
Pasal 16
  1. Lembaga Penyiaran Swasta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf b adalah lembaga penyiaran yang bersifat komersial berbentuk badan hukum Indonesia, yang bidang usahanya hanya menyelenggarakan jasa penyiaran radio atau televisi.
  2. Warga negara asing dilarang menjadi pengurus Lembaga Penyiaran Swasta, kecuali untuk bidang keuangan dan bidang teknik.
Pasal 17
  1. Lembaga Penyiaran Swasta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) didirikan dengan modal awal yang seluruhnya dimiliki oleh warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia.
  2. Lembaga Penyiaran Swasta dapat melakukan penambahan dan pengembangan dalam rangka pemenuhan modal yang berasal dari modal asing, yang jumlahnya tidak lebih dari 20% (dua puluh per seratus) dari seluruh modal dan minimum dimiliki oleh 2 (dua) pemegang saham.
  3. Lembaga Penyiaran Swasta wajib memberikan kesempatan kepada karyawan untuk memiliki saham perusahaan dan memberikan bagian laba perusahaan.
Pasal 18
  1. Pemusatan kepemilikan dan penguasaan Lembaga Penyiaran Swasta oleh satu orang atau satu badan hukum, baik di satu wilayah siaran maupun di beberapa wilayah siaran, dibatasi.
  2. Kepemilikan silang antara Lembaga Penyiaran Swasta yang menyelenggarakan jasa penyiaran radio dan Lembaga Penyiaran Swasta yang menyelenggarakan jasa penyiaran televisi, antara Lembaga Penyiaran Swasta dan perusahaan media cetak, serta antara Lembaga Penyiaran Swasta dan lembaga penyiaran swasta jasa penyiaran lainnya, baik langsung maupun tidak langsung, dibatasi.
  3. Pengaturan jumlah dan cakupan wilayah siaran lokal, regional, dan nasional, baik untuk jasa penyiaran radio maupun jasa penyiaran televisi, disusun oleh KPI bersama Pemerintah.
  4. Ketentuan lebih lanjut mengenai pembatasan kepemilikan dan penguasaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan pembatasan kepemilikan silang sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) disusun oleh KPI bersama Pemerintah.
Pasal 19
Sumber pembiayaan Lembaga Penyiaran Swasta diperoleh dari:
  1. siaran iklan; dan/atau
  2. usaha lain yang sah yang terkait dengan penyelenggaraan penyiaran.
Pasal 20
Lembaga Penyiaran Swasta jasa penyiaran radio dan jasa penyiaran televisi masing-masing hanya dapat menyelenggarakan 1 (satu) siaran dengan 1 (satu) saluran siaran pada 1 (satu) cakupan wilayah siaran.
Bagian Keenam
Lembaga Penyiaran Komunitas
Pasal 21
  1. Lembaga Penyiaran Komunitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf c merupakan lembaga penyiaran yang berbentuk badan hukum Indonesia, didirikan oleh komunitas tertentu, bersifat independen, dan tidak komersial, dengan daya pancar rendah, luas jangkauan wilayah terbatas, serta untuk melayani kepentingan komunitasnya.
  2. Lembaga Penyiaran Komunitas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselenggarakan:
    1. tidak untuk mencari laba atau keuntungan atau tidak merupakan bagian perusahaan yang mencari keuntungan semata; dan
    2. untuk mendidik dan memajukan masyarakat dalam mencapai kesejahteraan, dengan melaksanakan program acara yang meliputi budaya, pendidikan, dan informasi yang menggam-barkan identitas bangsa.
  3. Lembaga Penyiaran Komunitas merupakan komunitas nonpartisan yang keberadaan organisasinya:
    1. tidak mewakili organisasi atau lembaga asing serta bukan komunitas internasional;
    2. tidak terkait dengan organisasi terlarang; dan
    3. tidak untuk kepentingan propaganda bagi kelompok atau golongan tertentu.
Pasal 22
  1. Lembaga Penyiaran Komunitas didirikan atas biaya yang diperoleh dari kontribusi komunitas tertentu dan menjadi milik komunitas tersebut.
  2. Lembaga Penyiaran Komunitas dapat memperoleh sumber pembiayaan dari sumbangan, hibah, sponsor, dan sumber lain yang sah dan tidak mengikat.
Pasal 23
  1. Lembaga Penyiaran Komunitas dilarang menerima bantuan dana awal mendirikan dan dana operasional dari pihak asing.
  2. Lembaga Penyiaran Komunitas dilarang melakukan siaran iklan dan/atau siaran komersial lainnya, kecuali iklan layanan masyarakat.
Pasal 24
  1. Lembaga Penyiaran Komunitas wajib membuat kode etik dan tata tertib untuk diketahui oleh komunitas dan masyarakat lainnya.
  2. Dalam hal terjadi pengaduan dari komunitas atau masyarakat lain terhadap pelanggaran kode etik dan/atau tata tertib, Lembaga Penyiaran Komunitas wajib melakukan tindakan sesuai dengan pedoman dan ketentuan yang berlaku.
Bagian Ketujuh
Lembaga Penyiaran Berlangganan
Pasal 25
  1. Lembaga Penyiaran Berlangganan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf d merupakan lembaga penyiaran berbentuk badan hukum Indonesia, yang bidang usahanya hanya menyelenggarakan jasa penyiaran berlangganan dan wajib terlebih dahulu memperoleh izin penyelenggaraan penyiaran berlangganan.
  2. Lembaga Penyiaran Berlangganan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memancarluaskan atau menyalurkan materi siarannya secara khusus kepada pelanggan melalui radio, televisi, multi-media, atau media informasi lainnya.
Pasal 26
  1. Lembaga Penyiaran Berlangganan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 terdiri atas:
    1. Lembaga Penyiaran Berlangganan melalui satelit;
    2. Lembaga Penyiaran Berlangganan melalui kabel; dan
    3. Lembaga Penyiaran Berlangganan melalui terestrial.
  2. (2) Dalam menyelenggarakan siarannya, Lembaga Penyiaran Ber-langganan harus:
    1. melakukan sensor internal terhadap semua isi siaran yang akan disiarkan dan/atau disalurkan;
    2. menyediakan paling sedikit 10% (sepuluh per seratus) dari kapasitas kanal saluran untuk menyalurkan program dari Lembaga Penyiaran Publik dan Lembaga Penyiaran Swasta; dan
    3. menyediakan 1 (satu) kanal saluran siaran produksi dalam negeri berbanding 10 (sepuluh) siaran produksi luar negeri paling sedikit 1 (satu) kanal saluran siaran produksi dalam negeri.
  3. (3) Pembiayaan Lembaga Penyiaran Berlangganan berasal dari:
    1. iuran berlangganan; dan
    2. usaha lain yang sah dan terkait dengan penyelenggaraan penyiaran.
Pasal 27
Lembaga Penyiaran Berlangganan melalui satelit, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) huruf a, harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
  1. memiliki jangkauan siaran yang dapat diterima di wilayah Negara Republik Indonesia;
  2. memiliki stasiun pengendali siaran yang berlokasi di Indonesia;
  3. memiliki stasiun pemancar ke satelit yang berlokasi di Indonesia;
  4. menggunakan satelit yang mempunyai landing right di Indonesia; dan
  5. menjamin agar siarannya hanya diterima oleh pelanggan.
Pasal 28
Lembaga Penyiaran Berlangganan melalui kabel dan melalui terestrial, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) huruf b dan huruf c, harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
  1. memiliki jangkauan siaran yang meliputi satu daerah layanan sesuai dengan izin yang diberikan; dan
  2. menjamin agar siarannya hanya diterima oleh pelanggan.
Pasal 29
  1. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2), Pasal 17, Pasal 18, Pasal 33 ayat (1) dan ayat (7), Pasal 34 ayat (4) dan ayat (5) berlaku pula bagi Lembaga Penyiaran Berlangganan.
  2. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) disusun oleh KPI bersama Pemerintah.
Bagian Kedelapan
Lembaga Penyiaran Asing
Pasal 30
  1. Lembaga penyiaran asing dilarang didirikan di Indonesia.
  2. Lembaga penyiaran asing dan kantor penyiaran asing yang akan melakukan kegiatan jurnalistik di Indonesia, baik yang disiarkan secara langsung maupun dalam rekaman, harus memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  3. Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman kegiatan peliputan lembaga penyiaran asing disusun oleh KPI bersama Pemerintah.
Bagian Kesembilan
Stasiun Penyiaran dan Wilayah Jangkauan Siaran
Pasal 31
  1. Lembaga penyiaran yang menyelenggarakan jasa penyiaran radio atau jasa penyiaran televisi terdiri atas stasiun penyiaran jaringan dan/atau stasiun penyiaran lokal.
  2. Lembaga Penyiaran Publik dapat menyelenggarakan siaran dengan sistem stasiun jaringan yang menjangkau seluruh wilayah negara Republik Indonesia.
  3. Lembaga Penyiaran Swasta dapat menyelenggarakan siaran melalui sistem stasiun jaringan dengan jangkauan wilayah terbatas.
  4. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan sistem stasiun jaringan disusun oleh KPI bersama Pemerintah.
  5. Stasiun penyiaran lokal dapat didirikan di lokasi tertentu dalam wilayah negara Republik Indonesia dengan wilayah jangkauan siaran terbatas pada lokasi tersebut.
  6. Mayoritas pemilikan modal awal dan pengelolaan stasiun penyiaran lokal diutamakan kepada masyarakat di daerah tempat stasiun lokal itu berada.
Bagian Kesepuluh
Rencana Dasar Teknik Penyiaran dan
Persyaratan Teknis Perangkat Penyiaran
Pasal 32
  1. Setiap pendirian dan penyelenggaraan penyiaran wajib memenuhi ketentuan rencana dasar teknik penyiaran dan persyaratan teknis perangkat penyiaran.
  2. Ketentuan lebih lanjut mengenai rencana dasar teknik penyiaran dan persyaratan teknis perangkat penyiaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disusun lebih lanjut oleh KPI bersama Pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagian Kesebelas
Perizinan
Pasal 33
  1. Sebelum menyelenggarakan kegiatannya lembaga penyiaran wajib memperoleh izin penyelenggaraan penyiaran.
  2. Pemohon izin wajib mencantumkan nama, visi, misi, dan format siaran yang akan diselenggarakan serta memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan undang-undang ini.
  3. Pemberian izin penyelenggaraan penyiaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berdasarkan minat, kepentingan dan kenyamanan publik.
  4. Izin dan perpanjangan izin penyelenggaraan penyiaran diberikan oleh negara setelah memperoleh:
    1. masukan dan hasil evaluasi dengar pendapat antara pemohon dan KPI;
    2. rekomendasi kelayakan penyelenggaraan penyiaran dari KPI;
    3. hasil kesepakatan dalam forum rapat bersama yang diadakan khusus untuk perizinan antara KPI dan Pemerintah; dan
    4. izin alokasi dan penggunaan spektrum frekuensi radio oleh Pemerintah atas usul KPI.
  5. Atas dasar hasil kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) huruf c, secara administratif izin penyelenggaraan penyiaran diberikan oleh Negara melalui KPI.
  6. Izin penyelenggaraan dan perpanjangan izin penyelenggaraan penyiaran wajib diterbitkan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja setelah ada kesepakatan dari forum rapat bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) huruf c.
  7. Lembaga penyiaran wajib membayar izin penyelenggaraan penyiaran melalui kas negara.
  8. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan perizinan penyelenggaraan penyiaran disusun oleh KPI bersama Pemerintah.
Pasal 34
  1. Izin penyelenggaraan penyiaran diberikan sebagai berikut:
    1. izin penyelenggaraan penyiaran radio diberikan untuk jangka waktu 5 (lima) tahun;
    2. izin penyelenggaraan penyiaran televisi diberikan untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun.
  2. Izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan huruf b masing-masing dapat diperpanjang.
  3. Sebelum memperoleh izin tetap penyelenggaraan penyiaran, lembaga penyiaran radio wajib melalui masa uji coba siaran paling lama 6 (enam) bulan dan untuk lembaga penyiaran televisi wajib melalui masa uji coba siaran paling lama 1 (satu) tahun.
  4. Izin penyelenggaraan penyiaran dilarang dipindahtangankan kepada pihak lain.
  5. Izin penyelenggaraan penyiaran dicabut karena:
    1. tidak lulus masa uji coba siaran yang telah ditetapkan;
    2. melanggar penggunaan spektrum frekuensi radio dan/atau wilayah jangkauan siaran yang ditetapkan;
    3. tidak melakukan kegiatan siaran lebih dari 3 (tiga) bulan tanpa pemberitahuan kepada KPI;
    4. dipindahtangankan kepada pihak lain;
    5. melanggar ketentuan rencana dasar teknik penyiaran dan persyaratan teknis perangkat penyiaran; atau
    6. melanggar ketentuan mengenai standar program siaran setelah adanya putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap.
  6. Izin penyelenggaraan penyiaran dinyatakan berakhir karena habis masa izin dan tidak diperpanjang kembali.
BAB IV
PELAKSANAAN SIARAN
Bagian Pertama
Isi Siaran
Pasal 35
Isi siaran harus sesuai dengan asas, tujuan, fungsi, dan arah siaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5.
Pasal 36
  1. Isi siaran wajib mengandung informasi, pendidikan, hiburan, dan manfaat untuk pembentukan intelektualitas, watak, moral, kemajuan, kekuatan bangsa, menjaga persatuan dan kesatuan, serta mengamalkan nilai-nilai agama dan budaya Indonesia.
  2. Isi siaran dari jasa penyiaran televisi, yang diselenggarakan oleh Lembaga Penyiaran Swasta dan Lembaga Penyiaran Publik, wajib memuat sekurang-kurangnya 60% (enam puluh per seratus) mata acara yang berasal dari dalam negeri.
  3. Isi siaran wajib memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada khalayak khusus, yaitu anak-anak dan remaja, dengan menyiarkan mata acara pada waktu yang tepat, dan lembaga penyiaran wajib mencantumkan dan/atau menyebutkan klasifikasi khalayak sesuai dengan isi siaran.
  4. Isi siaran wajib dijaga netralitasnya dan tidak boleh mengutamakan kepentingan golongan tertentu.
  5. Isi siaran dilarang:
    1. bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan/atau bohong;
    2. menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalah-gunaan narkotika dan obat terlarang; atau
    3. mempertentangkan suku, agama, ras, dan antargolongan.
  6. Isi siaran dilarang memperolokkan, merendahkan, melecehkan dan/atau mengabaikan nilai-nilai agama, martabat manusia Indonesia, atau merusak hubungan internasional.
Bagian Kedua
Bahasa Siaran
Pasal 37
Bahasa pengantar utama dalam penyelenggaraan program siaran harus Bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Pasal 38
  1. Bahasa daerah dapat digunakan sebagai bahasa pengantar dalam penyelenggaraan program siaran muatan lokal dan, apabila diperlukan, untuk mendukung mata acara tertentu.
  2. Bahasa asing hanya dapat digunakan sebagai bahasa pengantar sesuai dengan keperluan suatu mata acara siaran.
Pasal 39
  1. Mata acara siaran berbahasa asing dapat disiarkan dalam bahasa aslinya dan khusus untuk jasa penyiaran televisi harus diberi teks Bahasa Indonesia atau secara selektif disulihsuarakan ke dalam Bahasa Indonesia sesuai dengan keperluan mata acara tertentu.
  2. Sulih suara bahasa asing ke dalam Bahasa Indonesia dibatasi paling banyak 30% (tiga puluh per seratus) dari jumlah mata acara berbahasa asing yang disiarkan.
  3. Bahasa isyarat dapat digunakan dalam mata acara tertentu untuk khalayak tunarungu.
Bagian Ketiga
Relai dan Siaran Bersama
Pasal 40
  1. Lembaga penyiaran dapat melakukan relai siaran lembaga penyiaran lain, baik lembaga penyiaran dalam negeri maupun dari lembaga penyiaran luar negeri.
  2. Relai siaran yang digunakan sebagai acara tetap, baik yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri, dibatasi.
  3. Khusus untuk relai siaran acara tetap yang berasal dari lembaga penyiaran luar negeri, durasi, jenis dan jumlah mata acaranya dibatasi.
  4. Lembaga penyiaran dapat melakukan relai siaran lembaga penyiaran lain secara tidak tetap atas mata acara tertentu yang bersifat nasional, internasional, dan/atau mata acara pilihan.
Pasal 41
Antarlembaga penyiaran dapat bekerja sama melakukan siaran bersama sepanjang siaran dimaksud tidak mengarah pada monopoli informasi dan monopoli pembentukan opini.
Bagian Keempat
Kegiatan Jurnalistik
Pasal 42
Wartawan penyiaran dalam melaksanakan kegiatan jurnalistik media elektronik tunduk kepada Kode Etik Jurnalistik dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagian Kelima
Hak Siar
Pasal 43
  1. Setiap mata acara yang disiarkan wajib memiliki hak siar.
  2. Dalam menayangkan acara siaran, lembaga penyiaran wajib mencantumkan hak siar.
  3. Kepemilikan hak siar sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus disebutkan secara jelas dalam mata acara.
  4. Hak siar dari setiap mata acara siaran dilindungi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagian Keenam
Ralat Siaran
Pasal 44
  1. Lembaga penyiaran wajib melakukan ralat apabila isi siaran dan/atau berita diketahui terdapat kekeliruan dan/atau kesalahan, atau terjadi sanggahan atas isi siaran dan/atau berita.
  2. Ralat atau pembetulan dilakukan dalam jangka waktu kurang dari 24 (dua puluh empat) jam berikutnya, dan apabila tidak memungkinkan untuk dilakukan, ralat dapat dilakukan pada kesempatan pertama serta mendapat perlakuan utama.
  3. Ralat atau pembetulan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak membebaskan tanggung jawab atau tuntutan hukum yang diajukan oleh pihak yang merasa dirugikan.
Bagian Ketujuh
Arsip Siaran
Pasal 45
  1. Lembaga Penyiaran wajib menyimpan bahan siaran, termasuk rekaman audio, rekaman video, foto, dan dokumen, sekurang-kurangnya untuk jangka waktu 1 (satu) tahun setelah disiarkan.
  2. Bahan siaran yang memiliki nilai sejarah, nilai informasi, atau nilai penyiaran yang tinggi, wajib diserahkan kepada lembaga yang ditunjuk untuk menjaga kelestariannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagian Kedelapan
Siaran Iklan
Pasal 46
  1. Siaran iklan terdiri atas siaran iklan niaga dan siaran iklan layanan masyarakat.
  2. Siaran iklan wajib menaati asas, tujuan, fungsi, dan arah penyiaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5.
  3. Siaran iklan niaga dilarang melakukan:
    1. promosi yang dihubungkan dengan ajaran suatu agama, ideologi, pribadi dan/atau kelompok, yang menyinggung perasaan dan/atau merendahkan martabat agama lain, ideologi lain, pribadi lain, atau kelompok lain;
    2. promosi minuman keras atau sejenisnya dan bahan atau zat adiktif;
    3. promosi rokok yang memperagakan wujud rokok;
    4. hal-hal yang bertentangan dengan kesusilaan masyarakat dan nilai-nilai agama; dan/atau
    5. eksploitasi anak di bawah umur 18 (delapan belas) tahun.
  4. Materi siaran iklan yang disiarkan melalui lembaga penyiaran wajib memenuhi persyaratan yang dikeluarkan oleh KPI.
  5. Siaran iklan niaga yang disiarkan menjadi tanggung jawab lembaga penyiaran.
  6. Siaran iklan niaga yang disiarkan pada mata acara siaran untuk anak-anak wajib mengikuti standar siaran untuk anak-anak.
  7. Lembaga Penyiaran wajib menyediakan waktu untuk siaran iklan layanan masyarakat.
  8. Waktu siaran iklan niaga untuk Lembaga Penyiaran Swasta paling banyak 20% (dua puluh per seratus), sedangkan untuk Lembaga Penyiaran Publik paling banyak 15% (lima belas per seratus) dari seluruh waktu siaran.
  9. Waktu siaran iklan layanan masyarakat untuk Lembaga Penyiaran Swasta paling sedikit 10% (sepuluh per seratus) dari siaran iklan niaga, sedangkan untuk Lembaga Penyiaran Publik paling sedikit 30% (tiga puluh per seratus) dari siaran iklannya.
  10. Waktu siaran lembaga penyiaran dilarang dibeli oleh siapa pun untuk kepentingan apa pun, kecuali untuk siaran iklan.
  11. Materi siaran iklan wajib menggunakan sumber daya dalam negeri.
Bagian Kesembilan
Sensor Isi Siaran
Pasal 47
Isi siaran dalam bentuk film dan/atau iklan wajib memperoleh tanda lulus sensor dari lembaga yang berwenang.
BAB V
PEDOMAN PERILAKU PENYIARAN
Pasal 48
  1. Pedoman perilaku penyiaran bagi penyelenggaraan siaran ditetapkan oleh KPI.
  2. Pedoman perilaku penyiaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disusun dan bersumber pada:
    1. nilai-nilai agama, moral dan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan
    2. norma-norma lain yang berlaku dan diterima oleh masyarakat umum dan lembaga penyiaran.
  3. KPI wajib menerbitkan dan mensosialisasikan pedoman perilaku penyiaran kepada Lembaga Penyiaran dan masyarakat umum.
  4. Pedoman perilaku penyiaran menentukan standar isi siaran yang sekurang-kurangnya berkaitan dengan:
    1. rasa hormat terhadap pandangan keagamaan;
    2. rasa hormat terhadap hal pribadi;
    3. kesopanan dan kesusilaan;
    4. pembatasan adegan seks, kekerasan, dan sadisme;
    5. perlindungan terhadap anak-anak, remaja, dan perempuan;
    6. penggolongan program dilakukan menurut usia khalayak;
    7. penyiaran program dalam bahasa asing;
    8. ketepatan dan kenetralan program berita;
    9. siaran langsung; dan
    10. siaran iklan.
  5. KPI memfasilitasi pembentukan kode etik penyiaran.
Pasal 49
KPI secara berkala menilai pedoman perilaku penyiaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (3) sesuai dengan perubahan peraturan perundang-undangan dan perkembangan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.
Pasal 50
  1. KPI wajib mengawasi pelaksanaan pedoman perilaku penyiaran.
  2. KPI wajib menerima aduan dari setiap orang atau kelompok yang mengetahui adanya pelanggaran terhadap pedoman perilaku penyiaran.
  3. KPI wajib menindaklanjuti aduan resmi mengenai hal-hal yang bersifat mendasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf e.
  4. KPI wajib meneruskan aduan kepada lembaga penyiaran yang bersangkutan dan memberikan kesempatan hak jawab.
  5. KPI wajib menyampaikan secara tertulis hasil evaluasi dan penilaian kepada pihak yang mengajukan aduan dan Lembaga Penyiaran yang terkait.
Pasal 51
  1. KPI dapat mewajibkan Lembaga Penyiaran untuk menyiarkan dan/atau menerbitkan pernyataan yang berkaitan dengan aduan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) apabila terbukti benar.
  2. Semua Lembaga Penyiaran wajib menaati keputusan yang dikeluarkan oleh KPI yang berdasarkan pedoman perilaku penyiaran.
BAB VI
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 52
  1. Setiap warga negara Indonesia memiliki hak, kewajiban, dan tanggung jawab dalam berperan serta mengembangkan penyelenggaraan penyiaran nasional.
  2. Organisasi nirlaba, lembaga swadaya masyarakat, perguruan tinggi, dan kalangan pendidikan, dapat mengembangkan kegiatan literasi dan/atau pemantauan Lembaga Penyiaran.
  3. Masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat mengajukan keberatan terhadap program dan/atau isi siaran yang merugikan.
BAB VII
PERTANGGUNGJAWABAN
Pasal 53
  1. KPI Pusat dalam menjalankan fungsi, wewenang, tugas, dan kewajibannya bertanggung jawab kepada Presiden dan menyampaikan laporan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
  2. KPI Daerah dalam menjalankan fungsi, wewenang, tugas, dan kewajibannya bertanggung jawab kepada Gubernur dan menyampaikan laporan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi.
Pasal 54
Pimpinan badan hukum lembaga penyiaran bertanggung jawab secara umum atas penyelenggaraan penyiaran dan wajib menunjuk penanggung jawab atas tiap-tiap program yang dilaksanakan.
BAB VIII
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 55
  1. Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2), Pasal 20, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 26 ayat (2), Pasal 27, Pasal 28, Pasal 33 ayat (7), Pasal 34 ayat (5) huruf a, huruf c, huruf d, dan huruf f, Pasal 36 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), Pasal 39 ayat (1), Pasal 43 ayat (2), Pasal 44 ayat (1), Pasal 45 ayat (1), Pasal 46 ayat (6), ayat (7), ayat (8), ayat (9), dan ayat (11), dikenai sanksi administratif.
  2. Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa:
    1. teguran tertulis;
    2. penghentian sementara mata acara yang bermasalah setelah melalui tahap tertentu;
    3. pembatasan durasi dan waktu siaran;
    4. denda administratif;
    5. pembekuan kegiatan siaran untuk waktu tertentu;
    6. tidak diberi perpanjangan izin penyelenggaraan penyiaran;
    7. pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran.
  3. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan pemberian sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) disusun oleh KPI bersama Pemerintah.
BAB IX
PENYIDIKAN
Pasal 56
  1. Penyidikan terhadap tindak pidana yang diatur dalam Undang-undang ini dilakukan sesuai dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
  2. Khusus bagi tindak pidana yang terkait dengan pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (5) huruf b dan huruf e, penyidikan dilakukan oleh Pejabat Pegawai Negeri Sipil sesuai dengan ketentuan Undang-undang yang berlaku.
BAB X
KETENTUAN PIDANA
Pasal 57
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) untuk penyiaran radio dan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) untuk penyiaran televisi, setiap orang yang:
  1. melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3);
  2. melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2);
  3. melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1);
  4. melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (5);
  5. melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (6).
Pasal 58
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) untuk penyiaran radio dan dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) untuk penyiaran televisi, setiap orang yang:
  1. melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1);
  2. melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1);
  3. melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (4);
  4. melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (3).
Pasal 59
Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (10) dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) untuk penyiaran radio dan paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) untuk penyiaran televisi.
BAB XI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 60
  1. Dengan berlakunya Undang-undang ini, segala peraturan pelaksanaan di bidang penyiaran yang ada tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan yang baru.
  2. Lembaga Penyiaran yang sudah ada sebelum diundangkannya Undang-undang ini tetap dapat menjalankan fungsinya dan wajib menyesuaikan dengan ketentuan Undang-undang ini paling lama 2 (dua) tahun untuk jasa penyiaran radio dan paling lama 3 (tiga) tahun untuk jasa penyiaran televisi sejak diundangkannya Undang-undang ini.
  3. Lembaga Penyiaran yang sudah mempunyai stasiun relai, sebelum diundangkannya Undang-undang ini dan setelah berakhirnya masa penyesuaian, masih dapat menyelenggarakan penyiaran melalui stasiun relainya, sampai dengan berdirinya stasiun lokal yang berjaringan dengan Lembaga Penyiaran tersebut dalam batas waktu paling lama 2 (dua) tahun, kecuali ada alasan khusus yang ditetapkan oleh KPI bersama Pemerintah.
BAB XII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 61
  1. KPI harus sudah dibentuk selambat-lambatnya 1 (satu) tahun setelah diundangkannya Undang-undang ini.
  2. Untuk pertama kalinya pengusulan anggota KPI diajukan oleh Pemerintah atas usulan masyarakat kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
Pasal 62
  1. Ketentuan-ketentuan yang disusun oleh KPI bersama Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (10), Pasal 18 ayat (3) dan ayat (4), Pasal 29 ayat (2), Pasal 30 ayat (3), Pasal 31 ayat (4), Pasal 32 ayat (2), Pasal 33 ayat (8), Pasal 55 ayat (3), dan Pasal 60 ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
  2. Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus ditetapkan paling lambat 60 (enam puluh) hari setelah selesai disusun oleh KPI bersama Pemerintah.
Pasal 63
Dengan berlakunya undang-undang ini, maka Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3701) dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 64
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Telah sah
pada tanggal 28 Desember 2002
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 28 Desember 2002
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd
BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2002 NOMOR 139

PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 32 TAHUN 2002
TENTANG
PENYIARAN
I. UMUM
Bahwa kemerdekaan menyatakan pendapat, menyampaikan, dan memperoleh informasi, bersumber dari kedaulatan rakyat dan merupakan hak asasi manusia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang demokratis. Dengan demikian, kemerdekaan atau kebebasan dalam penyiaran harus dijamin oleh negara. Dalam kaitan ini Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengakui, menjamin dan melindungi hal tersebut. Namun, sesuai dengan cita-cita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, maka kemerdekaan tersebut harus bermanfaat bagi upaya bangsa Indonesia dalam menjaga integrasi nasional, menegakkan nilai-nilai agama, kebenaran, keadilan, moral, dan tata susila, serta memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam hal ini kebebasan harus dilaksanakan secara bertanggung jawab, selaras dan seimbang antara kebebasan dan kesetaraan menggunakan hak berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi telah melahirkan masyarakat informasi yang makin besar tuntutannya akan hak untuk mengetahui dan hak untuk mendapatkan informasi. Informasi telah menjadi kebutuhan pokok bagi masyarakat dan telah menjadi komoditas penting dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi tersebut telah membawa implikasi terhadap dunia penyiaran, termasuk penyiaran di Indonesia. Penyiaran sebagai penyalur informasi dan pembentuk pendapat umum, perannya makin sangat strategis, terutama dalam mengembangkan alam demokrasi di negara kita. Penyiaran telah menjadi salah satu sarana berkomunikasi bagi masyarakat, lembaga penyiaran, dunia bisnis, dan pemerintah. Perkembangan tersebut telah menyebabkan landasan hukum pengaturan penyiaran yang ada selama ini menjadi tidak memadai.
Peran serta masyarakat dalam menyelenggarakan sebagian tugas-tugas umum pemerintahan, khususnya di bidang penyelenggaraan penyiaran, tidaklah terlepas dari kaidah-kaidah umum penyelenggaraan telekomunikasi yang berlaku secara universal.
Atas dasar hal tersebut perlu dilakukan pengaturan kembali mengenai penyiaran.
Undang-undang ini disusun berdasarkan pokok-pokok pikiran sebagai berikut:
  1. penyiaran harus mampu menjamin dan melindungi kebebasan berekspresi atau mengeluarkan pikiran secara lisan dan tertulis, termasuk menjamin kebebasan berkreasi dengan bertumpu pada asas keadilan, demokrasi, dan supremasi hukum;
  2. penyiaran harus mencerminkan keadilan dan demokrasi dengan menyeimbangkan antara hak dan kewajiban masyarakat ataupun pemerintah, termasuk hak asasi setiap individu/orang dengan menghormati dan tidak mengganggu hak individu/orang lain;
  3. memperhatikan seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, juga harus mempertimbangkan penyiaran sebagai lembaga ekonomi yang penting dan strategis, baik dalam skala nasional maupun internasional;
  4. mengantisipasi perkembangan teknologi komunikasi dan informasi, khususnya di bidang penyiaran, seperti teknologi digital, kompresi, komputerisasi, televisi kabel, satelit, internet, dan bentuk-bentuk khusus lain dalam penyelenggaraan siaran;
  5. lebih memberdayakan masyarakat untuk melakukan kontrol sosial dan berpartisipasi dalam memajukan penyiaran nasional; untuk itu, dibentuk Komisi Penyiaran Indonesia yang menampung aspirasi masyarakat dan mewakili kepentingan publik akan penyiaran;
  6. penyiaran mempunyai kaitan erat dengan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit geostasioner yang merupakan sumber daya alam yang terbatas sehingga pemanfaatannya perlu diatur secara efektif dan efisien;
  7. pengembangan penyiaran diarahkan pada terciptanya siaran yang berkualitas, bermartabat, mampu menyerap, dan merefleksikan aspirasi masyarakat yang beraneka ragam, untuk meningkatkan daya tangkal masyarakat terhadap pengaruh buruk nilai budaya asing.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Cukup jelas
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan pola jaringan yang adil dan terpadu adalah pencerminan adanya keseimbangan informasi antardaerah serta antara daerah dan pusat.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan diawasi adalah pelaksanaan tugas KPI dipantau dan dikontrol agar sesuai dengan ketentuan undang-undang ini.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Pedoman perilaku penyiaran tersebut diusulkan oleh asosiasi/ masyarakat penyiaran kepada KPI.
Huruf c
Yang dimaksud dengan mengawasi pelaksanaan peraturan adalah mengawasi pelaksanaan ketentuan-ketentuan yang dibuat oleh KPI.
Huruf d
Sanksi yang dapat dikenakan terhadap pelanggaran peraturan dan pedoman perilaku penyiaran dan standar program siaran.
Huruf e
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 9
Cukup jelas
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
Cukup jelas
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
Cukup jelas
Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16
Cukup jelas
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud memberikan kesempatan kepemilikan saham adalah pada saat-saat penjualan saham kepada publik.
Pasal 18
Cukup jelas
Pasal 19
Cukup jelas
Pasal 20
Cukup jelas
Pasal 21
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan komunitasnya adalah komunitas yang berada dalam wilayah jangkauan daya pancar stasiun komunitas yang diizinkan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 22
Cukup jelas
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan kode etik adalah pedoman perilaku penyelenggaraan penyiaran komunitas.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 25
Cukup jelas
Pasal 26
Cukup jelas
Pasal 27
Cukup jelas
Pasal 28
Cukup jelas
Pasal 29
Cukup jelas
Pasal 30
Cukup jelas
Pasal 31
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Yang dimaksud dengan diutamakan ialah diberikan prioritas kepada masyarakat di daerah itu atau yang berasal dari daerah itu. Mayoritas pemilikan modal awal dan pengelolaan stasiun hanya dapat diberikan kepada pihak dari luar daerah apabila masyarakat setempat tidak ada yang berminat.
Pasal 32
Cukup jelas
Pasal 33
Cukup jelas
Pasal 34
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan izin penyelenggaraan penyiaran dipindahtangankan kepada pihak lain, misalnya izin penyelenggaraan penyiaran yang diberikan kepada badan hukum tertentu, dijual, atau dialihkan kepada badan hukum lain atau perseorangan lain.
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 35
Cukup jelas
Pasal 36
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Mata acara siaran yang berasal dari luar negeri diutamakan berkaitan dengan agama, pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi, budaya, olahraga, serta hiburan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 37
Cukup jelas
Pasal 38
Cukup jelas
Pasal 39
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan harus diberi teks bahasa Indonesia, hanya berlaku bagi jasa penyiaran televisi.
Ayat (2)
Pengaturan tentang film yang boleh disiarkan melalui media televisi disesuaikan dengan ketentuan undang-undang yang berlaku tentang perfilman.
Ayat (3)
Yang dimaksud dalam ayat ini, hanya berlaku bagi jasa penyiaran televisi.
Pasal 40
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan pembatasan jenis siaran acara tetap adalah acara siaran warta berita, siaran musik yang penampilan tidak pantas, dan acara siaran olahraga yang memperagakan adegan sadis.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 41
Cukup jelas
Pasal 42
Cukup jelas
Pasal 43
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan hak siar adalah hak yang dimiliki lembaga penyiaran untuk menyiarkan program atau acara tertentu yang diperoleh secara sah dari pemilik hak cipta atau penciptanya.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 44
Cukup jelas
Pasal 45
Cukup jelas
Pasal 46
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Perlakuan eksploitasi, misalnya tindakan atau perbuatan memperalat, memanfaatkan, atau memeras anak untuk memperoleh keuntungan pribadi, keluarga, atau golongan.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Ayat (8)
Cukup jelas
Ayat (9)
Cukup jelas
Ayat (10)
Cukup jelas
Ayat (11)
Yang dimaksud dengan sumber daya dalam negeri adalah pemeran dan latar belakang produk iklan, bersumber dari dalam negeri.
Pasal 47
Tanda lulus sensor yang dimaksud dalam Pasal ini, hanya berlaku bagi jasa penyiaran televisi.
Pasal 48
Cukup jelas
Pasal 49
Cukup jelas
Pasal 50
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan hak jawab pada ayat ini sudah termasuk di dalamnya hak koreksi dan hak pembetulan atas kesalahan.
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 51
Cukup jelas
Pasal 52
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan pemantauan Lembaga Penyiaran adalah melakukan pengamatan terhadap penyelenggaraan siaran yang dilakukan oleh lembaga-lembaga penyiaran.
Yang dimaksud dengan kegiatan literasi adalah kegiatan pembelajaran untuk meningkatkan sikap kritis masyarakat.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 53
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan pertanggungjawaban kepada Presiden mengenai pelaksanaan fungsi, wewenang, tugas, dan kewajiban disampaikan secara berkala sesuai dengan peraturan yang berlaku dengan titik berat pada aspek administrasi dan keuangan; laporan disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia meliputi pelaksanaan fungsi, wewenang, tugas, dan kewajiban KPI.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan pertanggungjawaban kepada Gubernur mengenai pelaksanaan fungsi, wewenang, tugas, dan kewajiban disampaikan secara berkala sesuai dengan peraturan yang berlaku dengan titik berat pada aspek administrasi dan keuangan; laporan disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi meliputi pelaksanaan fungsi, wewenang, tugas, dan kewajiban KPI Daerah.
Pasal 54
Cukup jelas
Pasal 55
Cukup jelas
Pasal 56
Cukup jelas
Pasal 57
Cukup jelas
Pasal 58
Cukup jelas
Pasal 59
Cukup jelas
Pasal 60
Cukup jelas
Pasal 61
Cukup jelas
Pasal 62
Cukup jelas
Pasal 63
Cukup jelas
Pasal 64
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4252

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.