Dari Thames ke Ciliwung


Andreas Harsono
WAKIL Presiden Hamzah Haz adalah politikus kawakan yang tahu cara memanfaatkan media, dan lebih penting lagi, menggunakan media untuk mencapai tujuan politisnya. Ia menunjukkan ketrampilan itu sekali lagi pada 3 November lalu, ketika bertemu duta besar Inggris untuk Indonesia, Richard Gozney. Tentu saja, pertemuan mereka tertutup, tapi setelah mengantar tamunya ke luar istana Wakil Presiden di bilangan Kebon Sirih Jakarta, Hamzah membiarkan dirinya dikerubuti wartawan.

Hamzah memasang senyum di depan kamera, kemudian mengatakan bahwa ia dan Gozney baru saja membicarakan soal PT Thames PAM Jaya, anak perusahaan Inggris Thames Water. Gozney minta Hamzah membantunya menaikkan tarif air di Jakarta dalam upaya penyelamatan PT Thames PAM Jaya, yang menderita kerugian finansial sebesar US$58 juta selama tiga tahun terakhir. Per bulannya perusahaan itu merugi rata-rata $1.5 juta dan sangat mungkin angkat kaki dari Jakarta. Kenaikan tarif yang dibutuhkan untuk mengatasinya sekitar 20 persen.

Petang itu, ketika Gozney masih dalam perjalanan pulang, program berita malam di televisi sudah menyiarkan pertemuan mereka. Pagi berikutnya pernyataan Hamzah jadi berita utama di sejumlah surat kabar Jakarta. The Jakarta Post memasang tajuk, “Gozney Wants Water Rates Hiked.” Di London, tempat markas Thames Water berada, surat kabar Guardian memberitakan pertemuan tersebut dari sudut berbeda, “Jakarta Unit Drains Thames Cash.”

Thames Water adalah satu dari sejumlah pengelola air terbesar di dunia. Sejarah konglomerat ini berawal di London pada abad ke-17. Namun bentuk modernnya baru terwujud pada 1989, di masa pemerintahan Perdana Menteri Margareth Thatcher, ketika Thatcher menswastakan sejumlah badan usaha milik negara termasuk Water Authority. Thames Water, hasil privatisasi Water Authority, kemudian melebarkan sayap dan beroperasi di berbagai tempat di dunia. Pada 2001 sebagian besar saham Thames Water dibeli konglomerat Jerman, RWE Group, yang bermarkas di Essen. Nama perusahaan tersebut kemudian diubah jadi RWE Thames Water.

Satu dari banyak proyek Thames Water ada di Jakarta. Pada Juni 1997, atau empat tahun sebelum merger Jerman-Inggris itu terjadi, Thames Water mendapat kontrak selama 25 tahun untuk membentuk usaha modal bersama dengan perusahaan air milik negara di Jakarta, Perusahaan Air Minum Jakarta Raya (PAM Jaya). Saat itu Thames Water menggandeng Sigit Harjojudanto, putra sulung Presiden Suharto.

Tapi Jakarta terlalu besar untuk dikelola satu perusahaan saja. Presiden Suharto kemudian membagi Jakarta dengan mengikuti aliran Sungai Ciliwung. Thames Water mendapat bagian timur Ciliwung. Lyonnaise des Eaux milik konglomerat Prancis Suez (belakangan ganti nama menjadi Ondeo Service) kebagian jatah di sebelah barat. Suez bekerjasama dengan Salim Group, yang ketika itu adalah konglomerat terbesar di Indonesia. Konsorsium ini mulai bekerja pada Februari 1998 dengan tanggung jawab utama menjaga pasokan, distribusi, dan pembayaran air bersih buat penduduk Jakarta.

Sialnya, tiga bulan kemudian, pada Mei 1998, Presiden Suharto jatuh di tengah-tengah krisis ekonomi di sejumlah negara Asia. Kerusuhan pecah di berbagai tempat di Indonesia. Sejumlah organisasi politik menuntut Suharto diadili karena korupsi. Banyak orang percaya bahwa anak-anak dan kroni Suharto juga terlibat dalam sederet kerja sama bisnis yang dilakukan secara kotor.

Alhasil, baik Thames Water dan Suez, dua dari sekian perusahaan internasional yang terkait dengan bisnis keluarga Suharto, terpaksa membicarakan ulang kesepakatan mereka dengan PAM Jaya. Ekonomi Indonesia terpuruk akibat krisis ekonomi. Rupiah terdevaluasi terhadap dollar Amerika dari Rp 2.300 pada Juli 1997 ke lebih dari Rp 10.000 di pertengahan 1998.

Kedua konsorsium berusaha mempertahankan operasi mereka, tapi tak seorang pun menyangka bahwa devaluasi bisa terjadi begitu liar. Pemerintah Jakarta dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jakarta terus-menerus terlibat dalam perundingan dengan konsorsium tersebut untuk membahas kenaikan tarif air. Singkat kata, sejak mulai beroperasi pada Februari 1998 hingga pertemuan Hamzah dan Gozney, sudah terjadi tiga kali kenaikan tarif. Kenaikan pertama sebesar 18 persen, disusul 25 persen pada April 2001, dan menjadi 40 persen pada terjadi April 2003. Namun tarif (water tariff) itu terhitung rendah, secara rata-rata, bila dibanding imbalan air (water charge) yang harus PAM Jaya bayarkan pada para pengelola air internasional tersebut.

Saat Gozney berkunjung menemui Hamzah Haz, gagasan untuk sekali lagi menaikkan tarif air mendapatkan kecaman dari berbagai aktivis organisasi konsumen, beberapa lembaga swadaya masyarakat, dan sejumlah partai politik. Mereka berpendapat, baik RWE Thames Water maupun Suez gagal memperbaiki layanan dan efisiensi, yang ditandai dengan adanya gangguan pasokan air, kualitas air yang buruk, dan angka kebocoran air yang mencapai 45 persen. Organisasi konsumen air, Komparta, bahkan mengajukan gugatan ke pengadilan, dengan alasan layanan yang disediakan konsorsium ini jauh dari memuaskan.

Bagaimana situasi rumit ini bisa melibatkan Richard Gozney? Apakah ini lantaran kedekatannya dengan sejumlah pemimpin Indonesia? Seberapa jauh kelancarannya berbahasa Indonesia, lengkap dengan sebersit aksen ala Jakarta, dapat membuka jalan sehingga dirinya bisa menembus struktur kekuasaan Jakarta yang sedemikian kompleks?

Said Budiary, salah seorang asisten Hamzah Haz, dalam wawancara dengan saya mengatakan bahwa Gozney sebelumnya telah berbicara dengan Gubernur Jakarta Sutiyoso. Gozney minta Sutiyoso menaikkan tarif air. Namun Sutiyoso berkata bahwa ia perlu dukungan kuat agar bisa menaikkan tarif, dengan menyebut bahwa dukungan tersebut haruslah datang dari “yang di atas” (Said juga kolumnis majalah Pantau).

Gozney, dengan dukungan John Trew, presiden direktur PT Thames PAM Jaya, semula bermaksud mendekati Presiden Megawati Sukarnoputri. Namun, jadwal Megawati agak padat. “Beliau juga sering kurang cepat bergerak,” kata Budairy. Gozney akhirnya mendekati Hamzah.

Menurut Budiary, Hamzah sepakat mendukung kenaikan harga, tapi minta perusahaan Inggris-Jerman itu menerapkan mekanisme subsidi silang antar mereka yang miskin dan yang kaya. Hamzah khawatir bila kenaikan tak terjadi, RWE Thames Water hengkang dari Indonesia. Ini tak hanya menimbulkan masalah air di Jakarta, melainkan membuat gentar pemodal asing lain di Indonesia.

Tekanan tak cuma datang dari kubu Jerman-Inggris. Suez mengirimkan Eric de Muyinck, presiden Ondeo untuk urusan internasional, menemui Gubernur Sutiyoso. De Muyinck dan Michele Tay, presiden Ondeo untuk kawasan Asia, mendatangi kantor Sutiyoso 21 Oktober lalu. Menurut Bernard Lafrogne, wakil Ondeo di Jakarta, pesan mereka singkat saja: naikkan tarif air atau Ondeo Service angkat kaki!

Tekanan dua arah itu berhasil. Gubernur Sutiyoso mendapat dukungan Hamzah Haz. Ia pun mengajukan usul kenaikan air ke DPRD Jakarta pada 10 November 2003 atau seminggu setelah pertemuan Gozney-Hamzah, dengan memasang angka 30 persen, 10 persen lebih tinggi dari angka yang diusulkan Gozney.

Proposal tersebut menjelaskan bahwa 17 persen dari kenaikan tadi akan digunakan untuk melunasi utang PAM Jaya sebesar Rp 900 milyar ($105,88 juta) pada konsorsium swasta, sedang sisanya yang 13 persen dipakai untuk menutupi ongkos inflasi dan biaya operasi pihak swasta. Utang itu hasil kumulatif dari perbedaan antara tarif air yang dibayar pelanggan dan imbalan air yang dibayarkan PAM Jaya kepada perusahaan-perusahaan air internasional tersebut sejak Februari 1998.

Tanpa banyak cingcong, DPRD Jakarta, yang anggotanya juga terdiri dari politisi Partai Persatuan Pembangunan pimpinan Hamzah Haz, menyetujui proposal tersebut pada Desember 2003. Tarif baru yang naik sebesar 30 persen akan berlaku mulai 1 Januari 2004.

Gozney tentu saja senang. Ketika masa kerjanya selesai pada akhir Januari lalu, ia dirayakan dengan sebuah pesta perpisahan yang amat mengesankan! The Jakarta Post menurunkan editorial yang manis untuk Gozney. Gozney tak hanya mampu menjelaskan duduk persoalan Perang Irak pada publik Indonesia, antara lain dengan muncul di layar televisi, tapi juga membela kepentingan usaha dagang Inggris di Indonesia.


KANTOR pusat PAM Jaya terletak di daerah Pejompongan, sebuah permukiman yang lumayan sejuk di tengah hiruk-pikuk Jalan Penjernihan, Jakarta Pusat, yang menuju daerah Tanah Abang. Gedungnya dua lantai dan di salah satu ruang, saya menemui Achmad Lanti.

Lanti seorang birokrat yang piawai bicara tentang pekerjaannya. Ia suka membumbui isi pembicaraan dengan aneka peraturan, angka-angka, tanggal, nama-nama dan data-data lain. Ia berkulit gelap dan sahaja dalam berbusana. Ketika saya mengunjunginya akhir Desember lalu, Lanti kelihatan santai dan seperti biasa menyodorkan bermacam tabel, data, dan angka, yang ia ambil dari sejumlah laci.

Lanti adalah kepala Badan Regulator Pelayanan Air Minum Provinsi DKI Jakarta. Nama lembaga ini cukup panjang, toh tugas utamanya sederhana saja yakni menjadi “wasit” antara pihak swasta dan PAM Jaya. Lanti mulai menjabat pekerjaan ini pada November 2001, beberapa bulan setelah ia pensiun dari Departemen Pekerjaan Umum.

Saat itu Badan Regulator baru saja dibentuk. Ia harus menyeimbangkan kepentingan publik, yang membutuhkan air bersih dengan harga murah, dan konsorsium swasta, yang membutuhkan keuntungan finansial atas investasi mereka.

“Ini soal kepercayaan, harus membangun kepercayaan baik dari mitra swasta maupun dari PAM Jaya,” ujarnya.

Lanti bukan wajah baru di bisnis air. Ia datang ke Jakarta pada 1968, setelah lulus dari Institut Teknologi Bandung, lalu merintis karir sebagai birokrat di Departemen Pekerjaan Umum, sebuah departemen yang juga menangani masalah air di Indonesia.

“Saya sendiri tak pernah berlangganan air bersih. Jadi air sumur bagus. Sumur pompa. Jadinya, saya tidak pernah jadi pelanggan air PAM di Jakarta. Sekarang di rumah sendiri di (Jalan) Radio Dalam, air tanah masih bagus. Bagus banget. Saya selalu tinggal di Kebayoran Baru.”

Lanti adalah satu dari segelintir warga Jakarta yang beruntung karena punya sumur bagus. Sebagian besar warga kota ini tak seberuntung Lanti.

Pada 1928 pemerintah kolonial Belanda membangun sistem air bersih yang pertama di Jakarta dengan kapasitas 600 liter per detik. Sistem ini bertujuan melayani kebutuhan 300.000 penduduk yang sebagian besar warga Belanda. Mereka berdiam di lingkaran elit di sebelah utara dan pusat Jakarta. Sesudah Indonesia meraih kemerdekaan pada 1945, sistem ini pelan-pelan diperluas pada 1950-an, meski tak dimaksudkan untuk melayani ekspansi yang terjadi begitu cepat pada 1970-an. Kualitas air menurun tajam akibat industrialisasi besar-besaran, urbanisasi, dan ketiadaan aturan main soal polusi air.

Menurut catatan statistik, pada tahun 1991, populasi penduduk Jakarta nyaris mencapai angka tujuh juta, tapi hanya 45 persen yang bisa menikmati air keran. Jakarta berhasil mendirikan begitu banyak pencakar langit, tapi masih banyak warganya yang menikmati kucuran air keran hanya di malam hari. Banyak dari mereka, terutama yang tinggal di selatan Jakarta, memilih menggali sumur seperti halnya keluarga Lanti, dan menggunakan pompa air berkekuatan tinggi. Di wilayah selatan ini, seperti Kemang, Pondok Indah, atau Lebak Bulus, pengembangan relatif lebih lambat.

Cerita tentang keterlibatan Lanti dengan privatisasi PAM Jaya berawal tanpa rencana. Pada pertengahan 1995 ia diminta mewakili atasannya menghadiri pertemuan dengan Menteri Pekerjaan Umum Radinal Moochtar pada saat Moochtar memaparkan maksud pemerintah menswastakan PAM Jaya.

Paparan tersebut tak muncul sekonyong-konyong. Pada 12 Juni 1995, Presiden Suharto mengemukakan isu privatisasi ini ke Radinal Moochtar. Suharto menginstruksikan Moochtar agar membentuk satu tim untuk menyiapkan privatisasi PAM Jaya dan mengikutsertakan pihak swasta. Suharto menyuruh Moochtar menghubungi PT Kekarpola Airindo, milik Sigit Harjojudanto, dan Salim Group, juga mitra internasional mereka, masing-masing Thames Water dan Lyonnaise des Eaux.

Suharto memiliki kekuasaan amat besar dan ia suka bergerak cepat. Radinal Moochtar paham hal itu. Tiga hari kemudian, Moochtar menyelenggarakan rapat di departemennya dan menyampaikan pada rekan-rekan kerjanya perihal instruksi Suharto. Rapat memutuskan membagi Jakarta menjadi dua zona air dengan garis pembatas Sungai Ciliwung. Bagian barat diberikan pada Salim Group, sedang yang di sebelah timur jadi jatah Sigit. Mereka sepakat membentuk dua tim untuk mengurusi privatisasi ini. Tim pertama menangani peraturan tingkat nasional, termasuk menelurkan peraturan menteri tentang privatisasi air. Tim kedua bertugas melakukan perundingan dengan para penanam modal swasta. Lanti tergabung dalam tim kedua.

Sigit Harjojudanto dikenal berkantong tebal dan punya reputasi sebagai penjudi. Kerjanya kebanyakan menjadi perantara bisnis, dengan memanfaatkan pengaruh ayahnya. Sasarannya tak lain perusahaan multinasional yang hendak beroperasi di Indonesia.

Namun gagasan privatisasi PAM Jaya bukan murni ide Sigit maupun sang ayah. Gagasan ini kemungkinan sudah bergulir pada awal 1990-an. Ketika itu Jakarta tumbuh menjadi salah satu kota yang paling cepat perkembangannya di Asia. Pada Juni 1991, pemerintah Indonesia menandatangani perjanjian utang sebesar US$92 juta dengan Bank Dunia untuk membiayai proyek perbaikan sistem PAM Jaya selama 20 tahun dengan bunga 9.5 persen per tahun. Utang ini digabungkan dengan pinjaman lain dari Overseas Economic Cooperation Fund (Jepang) yang dialokasi untuk membangun instalasi air di Pulogadung, di timur Jakarta.

Thames Water memutuskan bekerja sama dengan Sigit Harjojudanto pada 1993. Sigit minta rekannya, Fachry Thaib, pengusaha asal Aceh, menangani segala urusan dengan Thames Water.

Di Paris, gebrakan Thames Water di Jakarta memicu Lyonnaise des Eaux milik Suez, salah satu konglomerat konstruksi terbesar di dunia, bergerak cepat. Lyonnaise des Eaux minta Bernard Lafrogne, warga Perancis yang bekerja di Jakarta, membuka kantor perwakilan. Lafrogne seorang insinyur kelahiran Vietnam, yang sekolah rekayasa air di Toulouse, Perancis Selatan. Ia pertama kali datang ke Indonesia pada 1977, sewaktu bekerja untuk sebuah proyek Bank Dunia. Ia lancar berbahasa Indonesia dan menikahi perempuan Indonesia. Ia tahu betul isi perut PAM Jaya, karena ia sendiri pernah bekerja sebagai konsultan di sana.

“I was born in water and will die in the water,” kata Lafrogne pada saya.

Lyonnaise des Eaux mendekati CEO Salim Group, Anthony Salim. Salim tertarik tapi ingin tahu lebih dulu cara mengatasi Sigit dan Thames Water. Lafrogne menyarankan untuk membagi kue bisnis. “Jakarta is big enough for two companies,” katanya, seraya menambahkan bahwa layanan air di Manila dan Paris juga dijalankan oleh dua perusahaan. Anthony Salim sepakat dan menunjuk koleganya, Iwa Kartiwa, untuk memimpin perundingan tersebut.

Kubu Inggris dan Perancis berharap instruksi Suharto dapat melancarkan semua proses. Kenyataannya, instruksi itu memang membuka jalan, tapi juga menjadi titik awal sederet perundingan rumit antara konsorsium swasta itu dan PAM Jaya.

PAM Jaya secara teknis berada di bawah Departemen Pekerjaan Umum. Namun PAM Jaya resminya dimiliki pemerintah Jakarta, sehingga para direkturnya juga diangkat dan harus bertanggungjawab kepada gubernur.

Letnan Jenderal Surjadi Soedirdja, yang ketika itu menjabat gubernur Jakarta, dikenal anak buahnya sebagai birokrat yang tegas dan bersih. Ia tak pernah secara terbuka menyatakan opininya terhadap gagasan privatisasi PAM Jaya. Meski terkesan mempertanyakan keputusan Suharto, ia justru menggunakan segala peraturan agar privatisasi tersebut berlangsung sebaik mungkin.

Toh Surjadi harus bertanggungjawab pada atasannya, Menteri Dalam Negeri Moh. Yogie S.M., yang lebih tunduk pada Suharto. Persoalan jadi lebih rumit, karena utang luar negeri PAM Jaya, kebanyakan dengan Bank Dunia, ditandatangani menteri keuangan. Alhasil PAM Jaya juga harus bertanggungjawab pada menteri keuangan.

Bank Dunia, mendukung, bahkan lebih tepat lagi mendesak, privatisasi PAM Jaya. Namun Akira Nishigaki, presiden Overseas Economic Cooperation Fund, secara pribadi pernah berbicara pada Rama Boedi, yang ketika itu menjabat presiden direktur PAM Jaya, bahwa privatisasi itu “masih terlalu pagi.”

Kebanyakan manajer PAM Jaya, termasuk Rama, juga bersikap kritis terhadap rencana tersebut. PAM Jaya mempekerjakan sekitar 3.000 pegawai yang cukup terorganisasi. Mereka mendesak konsorsium swasta untuk memberi fasilitas, yang paling tidak setara dengan, yang mereka dapatkan dari PAM Jaya. Pendek kata, perundingannya lumayan alot.

“Saya ikut rapat pertama di Hotel Sahid Jaya,” kata Achmad Lanti, mengacu pada pertemuan antara konsorsium dan tim pemerintah pada 12-15 Juni 1996. Masing-masing delegasi membawa lima anggota. Tim pemerintah mengikutsertakan birokrat seperti Prawoto Danoemihardjo, Lanti dan Rama Boedi. Sementara tim dari PT Garuda Dipta Semesta membawa Iwa Kartiwa serta Christian Michelon dan Bernard Lafrogne dari Lyonnaise des Eaux. Tim PT Kekarpola Airindo mengirimkan Fachry Thaib serta John Blair, Lindsey Dawes, dan Les Crowther dari Thames Water.

Enam puluh persen saham PT Garuda Dipta Semesta dikuasai Salim Group dan 40 persen sisanya dimiliki Lyonnaise des Eaux. Thames Water Overseas Ltd. Memiliki 80 persen saham PT Kekar Thames Airindo, sedang 20 persen saham menjadi milik perusahaan Sigit, PT Kekarpola Airindo. Menurut notulensi rapat yang saya dapatkan, pertemuan tersebut menyimpulkan:

• Mereka bersepakat bahwa penanam modal swastalah yang bertanggung jawab menyediakan dana dan memenuhi target-target teknis;
• PAM Jaya akan memantau pencapaian target-target teknis, tujuan dan standar pelayanan, serta membuat rekomendasi seputar penentuan tarif air;
• PAM Jaya akan berdiskusi dengan lembaga pemerintahan terkait guna menegakkan aturan untuk menutup sumur dalam yang ada di tempat-tempat yang terdapat saluran pipa air bersih;
• Mereka akan membagi keuntungan;
• Pemilik modal akan menggunakan aset yang ada pada PAM Jaya namun diskusi lebih jauh perlu dilakukan untuk membahas soal pemilikan aset baru dan sebagainya;
• Para penanam modal sepakat bahwa 100 persen pegawai operasional PAM Jaya akan dialihkan ke tangan penanam modal, dan di akhir tahun pertama, paling tidak 80 persen dari pegawai pihak swasta adalah pegawai yang dialihkan tersebut. PAM Jaya saat itu memiliki 3.053 pegawai dan hanya 250 orang yang bekerja di kantor pusat (bukan staf operasional);
• PAM Jaya akan menyediakan daftar inventarisasi barang untuk dipertimbangkan lebih lanjut oleh penanam modal;
• Mereka belum mencapai kata sepakat seputar tempat penyelesaian kalau timbul pertikaian. PAM Jaya memilih Jakarta sementara para penanam modal memilih negara ketiga;

Kedua pihak menghabiskan lebih dari satu tahun untuk melakukan perundingan. Pemerintah Jakarta mengirimkan sejumlah pejabat, termasuk di antaranya Lanti, Danoemihardjo, juga Rama Boedi, untuk ikut serta dalam perundingan lanjutan. Pengacara, akuntan, konsultan, insinyur, manajer dan birokrat terlibat di dalam perundingan tersebut.

“Kita itu rapat banyak sekali sampai saya lupa jumlahnya. Pindah itu dari hotel ke hotel,” kata Lanti.

Kontrak tersebut akhirnya ditandatangani pada 6 Juni 1997. Masing-masing pihak membubuhkan tanda tangannya di atas dokumen setebal 600 halaman yang terdiri dari sederet bagan, rumus-rumus penghitungan uang, dan tabel-tabel. Gubernur Surjadi Soedirdja menandatangani sendiri kontrak-kontrak tersebut. Sigit Harjojudanto juga hadir. Menurut Bernard Lafrogne dan Iwa Kartiwa, ini kali pertama dan terakhir mereka melihat Sigit setelah tahun demi tahun berlalu dalam proses perundingan ini.

Kontrak itu pada dasarnya berisi kesepakatan membagi laba selama 25 tahun. Pihak swasta wajib mengelola pasokan air baku sampai mengumpulkan uang dari pelanggan PAM Jaya di seluruh Jakarta. Pihak swasta dapat memanfaatkan aset milik PAM Jaya, mulai dari instalasi air sampai gedung perkantoran. Tapi konsorsium swasta mesti membayar utang luar negeri PAM Jaya. Mereka juga harus mempekerjakan 3.000 karyawan PAM Jaya.

Tanggung jawab PAM Jaya adalah memantau kinerja konsorsium swasta. PAM Jaya memantau target teknis dan standar pelayanan, serta menyusun rekomendasi untuk menentukan kenaikan tarif air. Bila muncul pertikaian, mereka sepakat membawanya ke pengadilan Singapura.

Kontrak ini menekankan bahwa lima tahun pertama adalah masa paling penting. Kontrak tersebut dapat dikaji ulang bila konsorsium swasta tak berhasil memenuhi target mereka, terutama seputar persyaratan teknis. Pada 1997 PAM Jaya memiliki 428,764 sambungan air dan menjual 191 juta meter kubik air. Perusahaan ini melayani sekitar 43 persen populasi penduduk Jakarta, tapi 57 persen dari air tersebut dianggap air yang tak tertagih atau kebocoran (non revenue water).

Kontrak tersebut menggariskan bahwa selama lima tahun pertama, konsorsium swasta harus bisa membangun 757.129 sambungan dan menjual 342 juta meter kubik air. Cakupan pelayanan air bersih harus mencapai 70 persen dan air yang tak tertagih harus turun ke angka 35 persen.

Target Teknis dalam Kontrak tahun 1997

1998
1999
2000
2001
2002

Jumlah Sambungan
470.674
571.776
653.885
711.003
757.129

Cakupan pelayanan air bersih
49%
57%
63%
67%
70%

Air yang tak tertagih (non revenue water)
50%
47%
42%
38%
35%

Volume penjualan (juta m3)
210
244
281
317
342


Sumber: kontrak antara PAM Jaya dan konsorsium swasta

Kontrak juga menegaskan bahwa penanaman modal swasta selama lima tahun pertama harus mencapai Rp 732 miliar (US$318 juta dengan nilai tukar Rp 2.300 untuk satu dollar). Tarif air ditentukan DPRD Jakarta. Namun penyesuaian tarif otomatis bisa juga terjadi setiap enam bulan, berdasarkan sebuah rumus penghitungan yang kompleks, apabila DPRD Jakarta butuh waktu lebih lama lagi untuk menaikkan tarif.

Bagaimana menilai kontrak yang rumit ini?

Nila Ardhianie dari Indonesian Forum on Globalization menulis makalah yang disampaikan dalam World Water Forum di Jepang pada Maret 2003, yang menyebutkan bahwa privatisasi tersebut tanpa tender dan menuduh Bank Dunia berperan penting. Nila mengatakan Bank Dunia telah mengucurkan sejumlah pinjaman untuk penanganan air di Indonesia sejak 1968, termasuk di antaranya $92 juta pinjaman untuk PAM Jaya pada 1991. Ironisnya, ketika pinjaman tersebut usai pada 1998, yang terjadi justru privatisasi. Manajemen aset dan manajemen operasional dialihkan ke kedua perusahaan tersebut.

“Ini artinya PAM Jaya tak diberi kesempatan untuk menggunakan aset yang dibangun berdasarkan pinjaman tersebut,” kata Nila.

Argumentasi Nila ada benarnya. Pada Oktober 1997 sebuah tim dari Bank Dunia yang dipimpin ekonom Alain Locussol menerbitkan sebuah laporan berjudul Indonesia Urban Water Supply Sector Policy Framework. Locussol merekomendasikan sejumlah kebijakan untuk memprivatisasi sekitar 300 perusahaan air di seluruh Indonesia. Ia mengusulkan agar pemerintah Indonesia memisahkan “pemilikan aset dari manajemen mereka,” agar pemerintah daerah bisa memiliki aset seputar pengelolaan air tapi tidak mengelola distribusi air.

Locussol berpendapat pemisahan semacam ini dapat mencegah “campur tangan politik lokal” dalam manajemen air. Pemisahan juga membuka peluang bagi swastanisasi. Ini juga memungkinkan “perusahaan pengelola” untuk membentuk sinergi dengan perusahaan lain yang mengelola air di daerah yang berdekatan.

Laporan Locussol mengundang kritik Stephanie Fried dari Environmental Defense Fund yang berbasis di Washington DC. Fried menulis makalah yang mempertanyakan laporan Lucossol. “Tidak satu pun dari analisis sepanjang 54 halaman itu yang menyebut nama-nama dari pemilik konsorsium swasta tersebut,” tulis Fried.

Locussol tak menyebutkan kenyataan bahwa PAM Jaya telah diswastakan dengan Sigit dan Salim. “Siapa yang memiliki kedua konsorsium swasta yang disebut-sebut terus dalam laporan Bank Dunia ini?” Fried bertanya.

Baca Selanjutnya >>>>>

Label:

Posting Komentar

[blogger]

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.